Saturday 12 July 2014

Kisah Dua Belas Pasang Mata dan Ibu Guru Koishi

Awalnya, saya baca Bothcan kemudian Saga no Gabai Bachan dan kemudian tertarik untuk baca buku-buku sejenis. Waktu lihat di Gramedia sampul buku ini beserta judulnya, Dua Belas Pasang Mata, langsung mengingatkan saya sama buku-buku tersebut dan akhirnya memutuskan untuk membeli.

Cerita 12 Pasang Mata memang agak mirip-mirip sama kedua buku yang saya sebutin di atas, meski juga nggak sama. Di buku ini, diceritakan tentang kisah seorang guru, Miss Koishi, guru muda yang ditempatkan di sebuah daerah terpencil pinggir laut, berlatar tahun 1928. Dengan semangat dan idealisme orang muda. Awalnya ia dinilai buruk oleh murid-murid dan para orang tua, namun dengan 'kepolosannya' ia berhasil memenangkan hati mereka.

Cerita sendiri kemudian akan mengalir cepat. Ke masa-masa perang yang terdengar samar-samar dari desa, tapi berefek pada kehidupan mereka. Murid-muridnya yang beranjak besar dan memiliki jalan hidup masing-masing. Kehidupannya mengalami pasang surut setelah hidup berkeluarga.

Ini bukan cerita tentang heroisme, tapi lebih sebagai sebuah cerita yang 'apa adanya'. Miss Koishi sendiri bukan tokoh utama dalam buku ini dan ke-12 murid-muridnya juga tidak mendapat penggambaran secara detail (tentu saja, karena kemudian akan terlalu banyak tokoh yang membuat pusing pembaca, hehe). Pendeknya, ini cerita tentang suatu masa di Jepang, tentang pendidikan, juga sekilas tentang kehidupan mereka. Begitu saja. Cukup bermanfaat lah untuk menambah pengetahuan tentang Jepang ^-^ 

Judul: Dua Belas Pasang Mata
Diterjemahkan dari: Nijushi no Hitomi
Penulis: Sakae Tsuboi  (1952)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2013
Tebal: 248 halaman

Friday 11 July 2014

The Good Thief, Kisah Pencuri Kecil dari Biara St. Antonius

Ren, hanya tahu bahwa namanya REN, seperti huruf-huruf yang dijahit pada kerah bajunya. Umurnya 11 tahun. Ia besar di Biara St Antonius. Ia tak ingat siapa orang tuanya dan tak terlalu memikirkannya. Ia hanya berharap suatu hari ada keluarga yang mau mengadopsinya. Tapi itu nyaris mustahil. Tak ada seorang pun yang mau mengadopsi bocah buntung sepertinya. Sama halnya dengan sahabat baiknya, si Kembar, Brom & Ichy yang dianggap pembawa sial karena ibunya bunuh diri. Satu-satunya cara membuang jemu adalah dengan melakukan pencurian-pencurian kecil di biara.

Hingga suatu hari, muncul lelaki nyentrik yang mengaku sebagai kakaknya. Lelaki itu bernama Benjamin Nab. Meski tahu bahwa ia berbohong, tapi Ren ingin mengambil kesempatan itu keluar dari biara.


Maka dimulailah petualangan jalanannya bersama Benjamin. Mempertemukannya dengan Tom, si mantan guru sekolah yang menghancurkan hidupnya karena patah hati, Mrs Sands, perempuan bersuara keras yang memiliki baju-baju untuk 'bocah tenggelam,' Si Manusia Kerdil dari cerobong asap, Dolly, lelaki morbid tanpa perasaan yang kemudian menjadi sahabatnya, Gadis Berbibir Sumbing, Dokter Pengumpul Mayat, hingga Mr McGinty, lelaki pemilik pabrik pembuat perangkap tikus yang keji. Terdampar di sebuah dunia keras yang kelam, Ren pun dibayangi ajaran para bruder di biara dan belajar memilah mana yang buruk dan mana yang baik.

Saya selalu tertarik membaca novel tentang anak-anak yang ditulis orang-orang dewasa. Bagi saya, para penulis cerita semacam ini adalah orang-orang dengan imajinasi luar biasa. Dan di sini, Hannah Tinti membuktikannya. Sebuah cerita tentang dunia anak-anak yang mungkin sedikit berbeda dari cerita kebanyakan. Tetap tentang petualangan yang seru, tapi di sini adalah sebuah petualangan yang keras dan gelap, sehingga membuat saya bertanya-tanya, apa cerita petualangan semacam ini cocok untuk dibaca anak-anak? Hmm, entahlah. Tapi saya harus akui, ini sebuah buku petualangan seru sekaligus mencekam, yang membuat enggan untuk berhenti membacanya ^_^

Judul ; The Good Thief (asli dan terjemahan)
Penulis: Hannah Tinti (New York, 2000)
Penerjemah: Utti Setiawati,
Penerbit: Qanita, 2010
Tebal Buku : 444 halaman

Catatan:  Novel ini mendapat penghargaan "American Library Association's Alex Award" dan "John Sargent Sr. First Novel Prize."Hannah Tinti adalah penulis Amerika dan editor Majalah One Story




Tuesday 8 July 2014

Petualangan Peter & Gadis Penangkap Bintang

Saya tidak terlalu suka cerita fantasi, meski juga tidak anti. Saya melahap trilogi Lord of The Rings dan The Hobbits (yang menurut saya keren banget), tapi belum memiliki ketertarikan untuk membaca Harry Potter,The Chronicles of Narnia dan yang lain-lainnya. Dan juga butuh waktu yang lama membuat saya tertarik untuk membaca buku ini, Peter and The Starcatcher-nya Dave Barry & Ridley Pearson. Saya sudah sering bolak-balik ke toko buku dan menimang-nimang untuk membeli tapi tak pernah jadi, hingga akhirnya menemukan buku ini barisan buku diskon. Dengan embel-embel "New York Times Bestseller" saya cukup penasaran.

Peter Pan adalah tokoh yang diciptakan oleh penulis J.M Barrie pada tahun 1904, dan kemudian menjadi legendaris. Saya belum pernah membaca bukunya, tapi sudah beberapa kali menonton filmnya, yang menurut saya cukup keras untuk sebuah film anak-anak, tapi juga memiliki kedalaman Wendy yang memutuskan untuk menjadi dewasa).

Nah, Peter Pan versi Barry & Pearson adalah semacam penceritaan  tentang Peter Pan-nya Barrie tapi dengan versi yang berbeda. Dan menurut saya, ini menarik.

Peter di sini belumlah menjadi Peter Pan si 'anak ajaib' di bukunya J.M Barrie. Peter Pan masihlah seorang anak yatim piatu yang tinggal di sebuah panti asuhan dan siap melakukan perjalanan penuh petualangan dengan teman-temannya di sebuah kapal yang bernama Never Land. Awalnya, ini hanyalah seperti akan menjadi perjalanan yang biasa hingga hal-hal tak terduga terjadi. Peter akan bertemu dengan Molly, seorang gadis bermata hijau yang bisa menangkap bintang. Dan bagaimana kemudian dia harus membantu Molly menyelamatkan harta karun yang diincar oleh bajak laut bengis, Black Stache.

Kenapa Kapten Hook kehilangan sebelah tangannya, kenapa Peter Pan tetap menjadi anak-anak dan bisa terbang? Itulah yang tertulis di sampul belakang buku ini dan membuat saya penasaran untuk membacanya. Dan semuanya memang akan terjawab di sini. Sebuah petualangan seru dan menegangkan, meski juga meninggalkan sedikit sedih: kasihan ya Peter yang harus 'terjebak' di dunia anak-anak? Menjadi dewasa kadang memang bukan hal yang menyenangkan, tapi tidak pernah menjadi dewasa saya pikir juga menyedihkan. Hmm, entahlah. Akhirnya, ini hanyalah sebuah cerita fantasi anak-anak. Selamat bertualang bersama Peter Pan!

Note: Buku ini merupakan bagian pertama dari tetralogi Peter Pan, kedua buku berikutnya adalah Peter and Shadow Thieves, dan Peter and The Secret of Rundoon, serta Peter and The Word of Mercy

Perempuan-Perempuan Shakespeare & Pembuat Kue dari Rwanda

Beberapa waktu belakangan, membaca buku-buku yang menarik. Dua buku tepatnya.Menariknya adalah bahwa saya sama sekali tak banyak berekpektasi ketika membeli dan hendak membacanya, dan ternyata isinya tidak mengecewakan. Biasanya saya memutuskan untuk membaca sebuah buku karena nama pengarangnya atau embel-embel penghargaan yang tersemat di sampulnya. Kedua buku ini berbeda. Saya belum pernah mendengar nama pengarangnya dan dari sampul dan sinopsis yang saya baca, buku ini cenderung bergenre chick-lit. Bukan bermaksud meremehkan chick-lit, karena saya tahu banyak chick-lit yang ditulis dengan bagus dan bahkan saya pun sedang berusaha menulis chick-lit, hanya saja selama ini saya memang tidak terlalu tertarik membaca chick-lit.

Saya membelinya di sebuah pameran buku. Pertimbangan saya membelinya lebih karena harganya yang murah (15.000,-) dan cukup tebal (400-500 halaman). Saya pikir, buku yang tebal pastilah memiliki banyak detail, dan saya suka dengan buku yang memiliki kedetailan.



Buku pertama adalah The Weird Sister,yang ditulis oleh Eleanor Brown, penulis Amerika. Versi terjemahan buku ini diterbitkan oleh Penerbit Bentang Pustaka (2011). Sampul depannya bergambar potret seorang gadis pirang yang duduk di pinggir jalan dengan kopernya. Sebenarnya saya tidak suka dengan sampul berupa foto seseorang, tapi ketika membaca sinopsisnya bahwa ini adalah tentang tiga perempuan bersaudara yang tengah mengalami masa-masa sulit, membuat saya memutuskan untuk membeli.

The Weird Sister bercerita tentang kehidupan 3 kakak beradik, Rose (Rosalind) si sulung, Bean (Bianca) si nomer dua dan Cordy (Cordelia) si bungsu. Mereka dibesarkan oleh orang tua yang harmonis. Ayahnya seorang profesor Sastra di Universitas lokal yang fanatik dengan Shakespeare. Tak heran jika nama-nama anaknya dinamai dengan tokoh-tokoh perempuan dalam karya Shakespeare. Dan judul buku ini sendiri, The Weird Sister juga diambil dari Shakespeare.

Ketika ibu mereka divonis kanker, ketiga kakak beradik ini juga sedang mengalami masa kritis dalam hidupnya. Rose, yang paling mapan (punya pekerjaan tetap dan tunangan yang ideal), dihadapkan pada pilihan untuk keluar dari comfort zone-nya karena tunangannya mengajak pindah ke Inggris. Bean yang glamour terjerat utang yang membuatnya dikeluarkan dari pekerjaan. Ia juga dilanda krisis perempuan yang beranjak menua dan kekhawatiran tak lagi menarik bagi laki-laki. Sementara Cordy yang berjiwa petualang dan tidak dewasa juga terpaksa harus berkompromi dengan keadaan ketika menyadari dirinya hamil. Dalam keadaan terpuruk, ketiga bersuadara ini 'terpaksa' berkumpul di rumah dan belajar untuk melihat keadaan dengan lebih dewasa.

Banyak pelajaran menarik dari cerita ini. Mungkin Rose, Bean dan Cordy adalah perempuan-perempuan Amerika, dengan budaya dan nilai-nilai yang berbeda, tapi juga tidak terlalu berbeda dengan perempuan lain di tempat lain. Membaca buku ini, saya juga ikut merasa bahwa saya juga pernah merasakan beberapa hal yang dialami Rose, Bean maupun Cordy. Karakter-karakternya terasa kuat dan nyata, dengan penceritaan yang ringan dan cair. Satu hal yang agak menganggu adalah kutipan-kutipan Shakespeare yang alih-alih membuatnya terasa 'lebih berbobot' justru terkesan latah (tapi mungkin ini juga masalah penerjemahan, karena bahasa-bahasa puitis sering hilang dalam penerjemahan).

Beberapa kutipan yang menurut saya makjleb: "Apakah ia pernah sukses dalam apapun selain bepergian?...Dulu ia berpikir bahwa keberanian sama dengan bepergian...Sekarang ia tahu bahwa bepergian tidak membutuhkan keberanian, kekuatan saat ia hadir, saat ia menetap. (lah yang membutuhkan keberanian)" (Pikiran Cordy, hal 331-332)

Buku kedua adalah "Angel's Cake" ditulis oleh Gaile Parkin, diterbitkan oleh Qanita (2009). Versi aslinya berjudul "Baking Cakes in Kigali". Saya memutuskan untuk membeli karena ada kata Rwanda. Saya tertarik untuk tahu lebih banyak tentang Rwanda.  Tadinya, saya berpikir mungkin ini novel-novel ala Harlequein, yang menjadikan negara Afrika sebagai latar cintanya. Tak apalah, pikir saya, kadang ada hal-hal menarik bahkan dari sebuah cerita picisan sekalipun.

Ternyata, saya salah. Angel's Cake sama sekali tidak picisan. Ini adalah sebuah cerita 'besar' yang indah tapi ditulis seolah tanpa pretensi karena diceritakan melalui sudut pandang seorang ibu bersahaja pembuat kue, Angel Tungaraza. Angel sebenarnya seorang nenek dari lima orang cucu. Dua anaknya sudah meninggal karena penyakit yang mematikan sekaligus memalukan. Ia berasal dari Tanzania, dan karena tuntutan pekerjaan suaminya yang jadi dosen, mereka pindah ke Rwanda yang baru saja porak poranda oleh genosida yang mengerikan. Sehari-hari, Angel mengelola bisnis kue untuk orang-orang elit di sekitarnya: duta besar, pekerja-pekerja internasional, rekan suaminya...

Angel kemudian akan mengajak pembaca untuk mendengarkan obrolannya dengan para pelanggan dan orang-orang di sekitarnya dengan kisah-kisah hidup mereka yang dramatis, tapi juga memberikan banyak perenungan. Betapa perang dan kekerasan telah menghancurkan banyak hal, tapi betapa juga orang-orang selalu punya kekuatan untuk bertahan. Kita juga diajak untuk melihat sekilas kehidupan di sebuah negara seperti Rwanda, dengan AIDS dan kemiskinan yang merajalela, dan bagaimana harapan akan sesuatu yang lebih baik selalu ada. Sungguh, sebuah novel yang sangat layak untuk dibaca.  

Note: Gaile Parkin merupakan penulis kelahiran Zambia, dan bekerja di banyak tempat di Afrika, salah satunya adalah Rwanda, dimana dia memberikan konseling kepada perempuan Rwanda yang menjadi korban genosida. Dia juga menerbitkan beberapa buku bacaan sekolah dan anak-anak. Bukunya yang lain adalah When Hoopoes go to Heaven, dan Way Ahead (sumber: goodreads.com)