Tuesday 27 January 2015

Bernostalgia dengan Zaman Surat-Menyurat

Tiba-tiba ingin bernostalgia dengan jaman ketika komunikasi masih diperantarai oleh surat-menyurat. Lima belas tahunan yang lalu. Hmm, sudah cukup lama juga ya ternyata? Kalau dihitung-hitung, seusia satu generasi remaja. Kasihan juga ya generasi yang nggak merasakan serunya surat menyurat? (hihi, sebenarnya ini hanya penghiburan dari seorang generasi yang baru sadar kalau dirinya sudah tua ^-^).

Surat Cinta 

Ini tentu yang paling ngetren di jaman surat-menyurat. Meski pacaran dengan cowok satu sekolah ataupun tetangga sebelah, rasanya nggak afdol kalau tanpa surat-surat cinta. Kalau dipikir-pikir agak aneh juga sih karena sebenarnya nyaris bisa ketemu tiap hari, tapi kalau kirim surat bisa berlembar-lembar. Tapi mungkin juga karena cara bergaul waktu itu belum seterbuka sekarang. Pacaran berdua-duaan masih agak tabu. Lantas apa saja sih yang biasanya ditulis dalam surat cinta? Sepengetahuan saya sih biasanya cuma gombal-gombalan dan bujuk rayu mendayu-dayu yang menggelikan.

Nah untuk surat cinta ini, perlu perlakuan khusus. Kertasnya nggak bisa sembarangan. Nggak harus sih, tapi sebaiknya pakai kertas khusus lengkap dengan amplopnya. Kalau cuma pakai kertas buku tulis biasa, rasanya gimana...gitu. Untuk kertasnya sendiri sangat mudah mendapatkannya karena banyak di jual di warung-warung. Kertasnya penuh motif, biasanya berbunga-bunga dan harum pula. Jika kurang wangi, tinggal disemprot pakai minyak wangi. Gombalan biasanya dimulai sejak kalimat pembukanya : Toex Ytc./Yts./Ytr./Ytk... (yang tercinta/yang tersayang/yang terindu/yang terkasih.. :P) Jika sudah puas menggombal, tinggal lipat rapi, masukkan ke amplop, dilem (kalau mau irit, pakai nasi :D), kirim deh. Karena penerimanya cuma dekat-dekat saja, tak perlu pakai jasa tukang pos tapi cukup dititipkan pada seorang mak comblang. Biasanya adalah teman dekat si kekasih hati yang bisa dipercaya. Nggak lucu kan kalau surat yang kita kirim dibaca duluan sama si mak comblang?
 

Surat Untuk Artis Idola
Selain surat cinta,  tren surat menyurat yang lain adalah kirim surat ke artis idola. Alamat artis-artis idola biasanya dicantumkan di majalah-majalah langganan.  Isi suratnya sih biasanya menyatakan sebagai fans dan minta dikirimi foto atau merchandise. Seringkali pakai sarat:  diharapkan mengirimkan prangko balasan kalau mau dibalas.

Koleksi Perangko  (Filateli)
Ketika Pak Pos datang, selain mengantarkan surat-surat, beliau biasanya juga akan menawarkan majalah terbitan Kantor Pos dan di situ, biasanya dimuat informasi tentang hobi mengumpulkan perangko. Saya sendiri ingin sekali memiliki hobi itu apalagi kalau melihat gambar yang tercetak di perangko unik dan lucu-lucu. 

(sumber foto: museumindonesia.com)

Namun apalah daya, saya tak pernah punya kelebihan uang jajan untuk membeli perangko. Biasanya saya hanya menyimpan perangko-perangko bekas, itu pun di album yang biasa saja sehingga pastilah secara kualitas tidak terjaga. Kebetulan tempat penampungan surat ada di dekat sekolah dan sering saya iseng 'ngleteki' prangko dari surat-surat milik orang yang prangkonya bagus. Pernah saya mencoba membeli satu seri perangko, niatnya untuk koleksi, tapi kemudian habis saya pakai buat mengirim surat.  

Kartu Pos
Saya jarang menulis surat lewat kartu pos. Lebih sering kartu pos hanya untuk mengirim jawaban kuis di majalah remaja, karena memang biasanya disyaratkan begitu. Namun beberapa kali saya pernah mendapat kiriman kartu pos dari teman-teman saya yang sedang liburan ke luar negeri dan rasanya menyenangkan, karena gambarnya biasanya keren-keren.


Sahabat Pena
Ketika remaja, hobi surat menyurat saya makin menjadi dengan adanya tren sahabat pena. Sangat mudah mendapatkan sahabat pena. Salah satunya dengan membeli LKS. Nah, di sampul belakang LKS ini biasanya tercantum foto berikut biodata orang-orang yang bisa diajak bersahabat pena. Saya pernah coba, tapi entah kenapa, tak dibalas. Cara lain adalah mengirim surat program sahabat pena di RRI Nasional. Dan itulah yang kemudian saya lakukan. Caranya hanya berkirim surat ke radio, menyatakan bahwa kita ingin mencari sahabat pena lengkap dengan alamat kita. Nanti sang penyiar akan membacakan surat kita berikut alamat. Dan eng, ing, eng...ternyata cara ini sangat berhasil. Beberapa waktu setelah surat saya dibacakan, saya kebanjiran surat dari para sahabat pena yang ingin kenalan. Tak kurang dari 20 surat saya dapatkan setiap minggunya! Karena surat-surat tersebut saya alamatkan ke sekolah, dalam sekejap saya menjadi populer sebagai orang yang menerima banyak surat.

Pengirimnya macam-macam dan berasal dari seluruh penjuru nusantara. Ada teman sebaya, ada kakak kelas, ada TNI yang sedang bertugas di Papua, ada TKI di Malaysia... Isi suratnya pun bervariasi, ada yang ngajak kenalan biasa, ada yang ngajak pacaran, ada yang ngajak arisan jarak jauh... lucu-lucu lah pokoknya. Karena keterbatasan keuangan saya membeli perangko, saya pun terpaksa memilah-milah surat mana yang sebaiknya saya balas. Kalau isi suratnya aneh-aneh dan nggak nyambung ya nggak saya balas.


Naksir-Naksiran dengan Sahabat Pena dan Email yang "Merusak" ^-^
Dari para sahabat pena, beberapa menjalin komunikasi hingga beberapa kali surat menyurat, beberapa terputus begitu saja. Hanya satu dua yng bertahan cukup lama. Bahkan ada yang sampai membuat naksir lho, hihi. Waktu itu ada seorang sahabat pena yang mengaku mahasiswa di Bogor. Tulisannya sangat rapi dan bahasanya juga sangat sopan dan terkesan terpelajar. Meskipun isi surat kami hanya tentang hal-hal keseharian, tapi rasanya sangat menyenangkan. Saya sampai deg-degan kalau menerima surat dari dia. Tapi semua itu kemudian rusak ketika tiba-tiba muncul cara berkomunikasi baru yang lebih canggih: email.

Yah, email. Ketika mulai tren email, karena sahabat pena saya mengaku punya email, saya pun belajar bikin alamat email. Saya berpikir, dengan adanya email, komunikasi kami akan menjadi lebih mudah. Kenyataannya? Kami menjadi semakin jarang berkomunikasi. Surat menyurat menggunakan email memang lebih cepat dan ekonomis, tapi rasanya jauh berbeda dengan surat menyurat menggunakan kertas... dan begitulah, perlahan, komunikasi di antara kami semakin jarang. Dan akhirnya benar-benar putus.

Dan hal itu juga menandai berakhirnya era sahabat-sahabat penaan saya. Dan bisa dibilang era surat menyurat. Satu-satunya surat menyurat yang masih saya lakukan hingga beberapa waktu kemudian adalah dengan orang tua saya. Waktu itu saya melanjutkan sekolah di tempat yang jauh dan orang tua saya tinggal di kampung yang tak kenal apa itu email (waktu itu ponsel masih barang mewah).

Kantor Pos yang semakin ditinggalkan :(

Belakangan, dengan semakin mudahnya komunikasi, surat menyurat benar-benar tak pernah lagi saya lakukan kecuali hal-hal yang bersifat formal (lamaran kerja, dkk). Komunikasi bisa dilakukan setiap saat dengan pesan-pesan pendek dari berbagai penyedia layanan internet yang bisa dibilang gratis. Meskipun kadang-kadang merindukan masa-masa surat menyurat yang terasa romantis dan 'penuh perasaan' itu, tapi saya juga sangat mensyukuri kemajuan teknologi komunikasi saat ini yang tentu saja memudahkan banyak hal. Yah, bagaimanapun, semua  ada jamannya :)***

Friday 23 January 2015

Kereta Api, Riwayatmu Kini

Saya selalu punya imajinasi romantis yang aneh tentang kereta api. Derak rodanya yang menggilas rel, suara peluit panjang yang mengiringi setiap keberangkatan, sawah dan pepohonan yang berlarian... semua itu terasa romantis dan sentimentil. Meski begitu, aneh bahwa kebanyakan pengalaman nyata naik kereta api saya sebenarnya jauh dari kesan romantis maupun sentimentil. Alih-alih kalau tidak mau dibilang penat dan melelahkan.

Perkenalan pertama saya dengan kereta api ketika saya berumur 9 tahun dalam perjalanan Jogja-Jakarta. Kereta apinya kelas ekonomi. Tak banyak ingatan yang tersisa dari momen itu selain kesan penuh sesak, panas, bau, kumuh dan berisik oleh para pedagang asongan dan peminta-minta.

Setelah itu, lama saya tak pernah naik kereta api lagi hingga sekitar pertengahan tahun 2000-an. Rutenya sama: Jogja-Jakarta. Kali ini, karena dibayari, pilihannya adalah kelas bisnis. Tiketnya Rp. 80.000 atau Rp. 60.000, saya tak terlalu ingat. Tak ada perbedaan mencolok antara kelas ekonomi dan bisnis selain bahwa tempat duduknya sedikit lebih empuk. Namun dari segi suasana kereta api nyaris sama saja: penuh sesak dan berisik oleh pengamen, peminta-minta dan pedagang asongan yang tak pernah berhenti mondar-mandir. Baru merem sejenak sudah ada ewer-ewer mengusik gendang telinga. Bahkan pernah saya sedang tidur dibangunkan dengan kasar oleh seorang pengamen demi meminta recehan. Gondok sekali rasanya.

Berikutnya, saya naik kereta api lagi dalam rangka liburan bersama teman-teman kampus ke Tasikmalaya. Karena liburan ala anak kuliahan ya tentu saja pilihannya lagi-lagi yang paling ekonomis: kelas ekonomi. Tiketnya sangat murah, kurang dari 30 ribu seingat saya. Tak ada teraan tempat duduk, hanya sekeping potongan karton bercap harga. Karenanya, tak pernah ada jaminan bisa duduk kecuali kereta api memang sedang sepi. Sialnya, kami pergi pada musim liburan dan kereta api sangat penuh sesak. Boro-boro mendapat tempat duduk, sekadar tempat berdiri saja susah. Kami harus rela berdesak-desakkan, digeser kesana-kemari karena pedagang asongan dan pengamen yang terus hilir mudik. Minta ampun!

Namun pengalaman yang cukup 'mengerikan' bagi saya adalah ketika suatu hari usai memenuhi undangan wawancara kerja di Jakarta dan pulang naik kereta api. Saya berdua teman saya, sama-sama perempuan, awalnya ingin naik kereta api bisnis tapi ternyata tiketnya habis dan kami tak punya pilihan selain kereta api ekonomi.

Karena akhir pekan, kereta api benar-benar penuh sesak. Karena memang tak ada nomor kursi, kadang ada beberapa penumpang yang dengan tamak menguasai dua kursi sekaligus agar bisa nyaman. Tempat berdiri di sepanjang lorong juga sudah sesak, jadilah saya dan teman saya harus 'rela' mendapat tempat sempit di ruang gandengan antargerbong bersama beberapa penumpang lain. Sebagai alas duduk, kami membentang koran dan jika mengantuk, tidur dalam posisi duduk yang sangat-sangat tidak nyaman. Selesai? Belum. Lagi-lagi kami harus terbangun setiap saat, memiringkan posisi karena setiap kali pedagang asongan lewat, nyaris menginjak kami.

Sepanjang malam kami harus "menikmati" perjalanan seperti itu, dan baru pagi hari, ketika kereta api sampai di sekitar Kebumen akhirnya banyak penumpang turun dan kami bisa duduk di kursi dengan perut yang kembung karena masuk angin. Saat ini, mengenang hal itu terasa lucu, tapi saya juga belum bisa melupakan betapa menyiksanya perjalanan itu.
 

Bangku kereta api kelas ekonomi sekarang yang bersih dan lumayan nyaman

Beberapa tahun belakangan, terjadi perombakan besar-besaran di dunia perkeretapian Indonesia. Awalnya saya tak terlalu percaya mendengar cerita teman-teman yang mengatakan bahwa naik kereta api, apapun kelasnya, saat ini sangat nyaman. Hingga saya mengalaminya sendiri ketika naik kereta api Jogja-Probolinggo kelas ekonomi tahun 2014 lalu dan tertakjub-takjub dibuatnya. Tiketnya 'canggih' lengkap dengan nomor tempat duduk sehingga bisa dipastikan tak akan ada penumpang "bangku tempel". Pemeriksaannya ketat sehingga nyaris tak memberi ruang pencopet menyelinap masuk. Ruang  kereta apinya bersih, dingin oleh AC dan bebas gangguan pedagang asongan atau pengamen.

Di sisi lain, saya juga takjub dengan harganya. Sistem pembeliannya sudah menggunakan sistem pasar ala tiket pesawat yang memungkinkan harganya fluktuatif dan pada satu masa bisa menjadi sangat mahal. Untuk kelas ekonomi, beberapa masih terasa masuk akal, tapi tidak dengan kelas eksekutif yang harganya bahkan kadang mengalahkan atau sama dengan tiket pesawat. Dengan perbandingan durasi perjalanan dan fasilitas, menurut saya harganya benar-benar menjadi mahal. 

Meski begitu, bagaimanapun saya merasa salut dengan PT KAI yang telah berbenah demikian drastis. Tidak hanya kereta apinya, tapi juga stasiun-stasiun yang bersih dan pelayanan yang rapi. Sebagai penumpang (terlepas dari harganya yang kadang masih sulit saya terima), saya merasa nyaman dengan pelayanan kereta api saat ini. Suasana hiruk pikuk gerbong kereta api beberapa tahun lalu memang menjadikan perjalanan penuh warna dan mengesankan, tapi juga seringkali sangat mengganggu. Belum lagi rasa was-was oleh ancaman tangan-tangan jahil yang berkeliaran ketika kita tertidur dan lalai dengan barang-barang kita. Jauh berbeda dengan saat ini.


Untuk perjalanan jauh, rasa penat sulit teralihkan tapi setidaknya saya merasa nyaman karena pasti mendapat tempat duduk. Saya merasa aman karena petugas yang mondar-mandir setiap saat, memastikan keamanan gerbong dan kenyamanan penumpang. Saya juga bisa tidur tenang tanpa keringat bercucuran dan gangguan teriakan  "Spriiit! Akwa! Mijon! Popmiii!..." yang seolah tiada jeda atau ecrek-ecrek para banci kaleng dengan nyanyian sombernya.

Namun, seringkali dalam lamunan saya setiap kali naik kereta api, tak urung saya teringat masa-masa kereta api yang riuh rendah dulu. Betapa murahnya harga tiket kala itu (Jogja-Jakarta hanya sekitar Rp. 40.000), sehingga memungkinkan orang-orang yang kurang secara ekonomi bisa bepergian dengan kereta api. Lalu para pengais rejeki di atas kereta api itu, berapa jumlahnya? Puluhan? Ratusan?  Kemana mereka semua? Jujur, saya tak tahu harus bagaimana dan satu-satunya hal yang mampu saya lakukan hanyalah mendoakan mereka. Semoga mereka baik-baik saja dan mendapat sumber penghidupan yang layak di tempat lain...Amiin! :(

Friday 9 January 2015

Musik Keren: Clazziquai

Saya bukan penggemar lagu-lagu nge-beat atau musik electro, tapi Clazziquai adalah pengecualian. Yang saya tahu pertama kali dari Clazziquai adalah Alex. Waktu itu dengar Alex nggak sengaja  dari ngopi lagu  di warnet. Judulnya "Do soon eh," soundtrack-nya drama Korea "Que Sera Sera." Lagunya enak dan suara Alex juga keren banget. Saya kemudian tahu kalau Alex itu vokalis-nya Clazziquai, sebuah band beraliran acid jazz-elektronika Korea. Mereka mulai populer setelah ngisi ost-nya salah satu drama Korea yang cukup nge-hits, "My Name Is Kim Sam-soon" dengan lagunya "She Is" dan " Be My Love." yang memang enak didengar.  Penasaran, saya ngulik-ngulik di internet dan berhasil menemukan lagu-lagu mereka yang lain dan yeah, I'm fallin love with their music :)
Clazziquai

Clazziquai sendiri beranggotakan 3 orang: DJ Clazzi, Alex dan Horan. 
 DJ Clazzi bisa dibilang dedengkotnya band ini. Lahir 15 November 1974, dia punya nama lengkap Kim Sung-hoon, yang besar di Kanda. Dia tamatan dari Capilano College sebelum kemudian ngelanjutin belajar di CDIS (Center for Digital Image). Dia penggemar avid jazz dan biasa main piano untuk band beraliran jazz. Konon dia sempat kerja sebagai web designer, dan suka upload musiknya di internet. Dari sinilah kemudian muncul Clazziquai Project. Pakai istilah ‘project’ katanya karena ini merupakan semacam kerjasama yang bersifat sementara buat ngerjain suatu proyek musik. Meski begitu, konon anggota Clazziquai, karena ini kerjasama dalam menciptakan musik, mereka akan tetap eksis (buktinya mereka masih eksis hingga sekarang).
Alex yang nggak cuma populer sebagai penyanyi tapi juga merambah dunia akting


Anggota yang lain, yang paling beken, Alex Chu yang punya nama Korea Chu Hun-gon. Dia lahir 2 September 1979 (we born under the same sign :) ). Ia juga besar di Kanada. Lalu setelah besar balik ke Korea dan mulai bermusik. Punya modal Bahasa Inggris yang bagus, membuatnya fasih menyanyi, selain lagu-lagu Bahasa Korea juga Bahasa Inggris (dengan logat yang pas, nggak seperti kebanyakan penyanyi Korea yang logatnya kadang terdengar aneh :)).

Horan

Horan (Choi Horan) adalah vokalis cewek-nya Clazziquai. Dia menggantikan, Christina Chu, kakaknya Alex yang awalnya jadi lead vocal-nya Clazziquai. Nama aslinya Choi Su-jin, lahir tanggal 5 Juli 1979. Sama kayak Alex, Suaranya Horan ini juga keren dan memang pas banget kalau duet sama Alex.

Karena memang bersifat "project" Clazziquai memang tidak mengikat. Masing-masing anggotanya bebas bermusik di luar Clazziquai dan berkolaborasi dengan musikus siapapun. Pada tahun 2011, misalnya, DJ Clazzi sempat mengeluarkan digital single-nya dan menjadi produser musik untuk penyanyi Jepang, Izawa Asami.

Alex juga sempat bikin dua solo album dan beberapa single (meski saya lebih suka kalau dia bawain lagu-lagu bareng Clazziquai). Belakangan, didukung wajahnya  yang memang lumayan, dia juga mulai menjajal dunia akting  di beberapa drama Korea seperti  Finding Love , Pasta, Smile Dong Hae, Hotel King, She's so Lovable dan juga reality show  yang populer banget  "We've Got Married" (tapi menurut saya Alex tetep jauh lebih keren kalau lagi nyanyi. suaranya benar-benar TOP!).

Clazziquai, moga tetap eksis!

Pun dengan demikian dengan Horan. . Selain nyanyi di Clazziquai, Horan juga nyanyi untuk band-nya yang lain yang juga bergenre indie: Ibadi (band beraliran soul-acoustic. saya belum sempat dengar lagu-lagunya disana). Setahu saya, dia juga nyanyi solo, salah satu lagunya yang menurut saya enak banget adalah "Booranhan Sarang (Uncertain Love)" yang jadi ost-nya drama seri Korea "City Hall".

Di luar Clazziquai, Alex dan Horan ini sering duet dan tidak hanya membawakan lagu-lagunya DJ Clazzi, dan karenanya, nggak selalu bisa disebut Clazziquai meski Clazziquai identik dengan mereka berdua.

Whatever, saya pikir Clazziquai is one of Korean best music group dan semoga kerjasama mereka akan terus eksis dan selalu menghasilkan karya-karya yang qualified :)

Clazziquai Albums:instant pig (2004), color your soul (2005), LOVE CHILD of the CENTURY (2007), METROTRONICS (Special Album) (2008), MUCHO PUNK (2009), Blessed (2013), Blink (2014)


Favourite track:
I Will Give You Everything, Color Your Soul, Gentle Giant, Lazy Sunday Morning, Beautiful Stranger, Dateline, Flea, Speechless, You, Being Alone, Romeo & Juliet, Novabossa, I Will Never Cry, Gentle Rain, Madly

Sumber: wikipedia.org, generasia.com, koreanindie.com)

Tuesday 6 January 2015