Sunday 31 October 2010

Mbah Maridjan

Baru saja baca tulisan Bre Redana di Kompas ('Mbah Maridjan', Eds. Minggu 31 Okt. 2010, hal 23). Di situ ia membuat tulisan kecil tentang Mbah Maridjan, tentang kebersahajaannya dan tentang si Mbah setelah jadi 'selebriti.' Ia mengulas sedikit tentang hari menjelang kematian si Mbah, di mana ia menutup muka ketika disorot kamera dan membandingkannya dengan Putri Diana yang juga sering dibuat stres oleh media/paparazi. Dan dia seolah mempertanyakan, apa si Mbah juga merasa terganggung dengan paparazzi? Dan apakah karena hal itu pula, ia tetap memutuskan untuk tak turun dari Merapi? Karena sebagai orang yang waskito, dia seharusnya paham tanda-tanda alam bahwa Merapi akan benar-benar meletus. Lagi2, Wallahualam. Ah, Mbah Maridjan...

Thursday 28 October 2010

Perjumpaan dengan Mbah Maridjan

Tujuh tahun yang lalu, saya bertemu Mbah Maridjan. Di suatu hari yang dingin sekitar bulan September (atau Oktober?) tahun 2002. Saya masih mahasiswa baru dan sebuah 'keharusan' bagi mahasiswa yang diterima dijurusan saya (Antropologi) untuk ikut dalam sebuah ritual yang dinamakan 'inisiasi.' Acara itu berlangsung selama tiga hari, di lapangan rumput, tepat di bawah rumah Mbah Maridjan.

Saya yang besar di Sumatera, sama sekali tak familiar tentang siapa Mbah Maridjan (Waktu itu, beliau belum jadi bintang iklan). Saya baru tahu kalau beliau itu adalah juru kunce Gunung Merapi (kuncen) ya waktu inisiasi itu. Salah satu kegiatan inisiasi itu adalah latihan melakukan penelitian yang dilakukan secara berkelompok. Entah bagaimana prosesnya, saya lupa, kami memilih untuk mewancarai Mbah Maridjan. (Saya juga lupa apa judul penelitian kami waktu itu). Maka saya dan teman-teman sekelompok (Devi, Emprit, Eka dan Kozing) mulai mencari Mbah Maridjan.

Kami bertemu si Mbah sedang berada di halaman rumahnya, kalau tak salah sedang mencari kayu bakar. Wajahnya adalah tipikal wajah lelaki tua di tanah kelahiranku. Tua dan bersahaja. Dan saya pun langsung merasa akrab.

Ketika kami menjelaskan keinginan kami, beliau dengan senang hati kemudian membawa ke rumahnya. Sebuah rumah kayu yang sederhana dengan foto-foto beliau mengenakan pakaian abdi dalem, juga foto beliau dengan orang-orang keraton.

Mbah Maridjan menjawab setiap pertanyaan kami dengan hangat dan ramah. Tapi beliau terus-terusan menggunakan Bahasa Jawa halus yang karena jarang saya dengar, sulit saya pahami. Saya tak paham apa yang beliau katakan waktu itu. Tapi sedikit-sedikit saya menangkap ia menceritakan tentang pengabdiannya sebagai abdi dalem. Tentang penghormatannya pada Sultan dan juga penghormatannya pada kami, para mahasiswa, para priyayi. Di tengah obrolan, sesekali ia terkekeh. Dan beliau terlihat sama sekali tak merasa terganggu pada kedatangan kami, yang sebenarnya tak penting-penting amat. (Kalo dipikir-pikir, siapalah kami waktu itu. Cuma mahasiswa baru dan penelitian yang kami lakukan pun cuma ecek-ecek, sebagai salah satu bagian 'ngerjain' dari para senior).

Hanya itu ingatan saya tentang Mbah Maridjan dan saya tak pernah bertemu lagi dengan beliau. Namanya sesekali masih kami sebut dalam obrolan. Apalagi ketika kemudian ketika tahun 2006, ketika Gunung Merapi dikabarkan hendak meletus, beliau keukeuh tak mau beranjak meski Sultan HB X menyuruh warga mengungsi. Ada kabar, kalau beliau tak patuh sama Sultan yang sekarang, karena yang memberi titah padanya dulu adalah Sultan HB IX. Konon, Sultan HB X itu bukan lagi Sultan. Kesultanan Jogja sesungguhnya telah berakhir ketika Sultan HB IX wafat. Jadi, Sultan HB X sudah tak punya pamor sultan lagi. Entahlah. Saya juga tak terlalu paham. Tapi kemudian beliau memang tetap bertahan di Merapi dan kabar bahwa Merapi akan meletus, ternyata memang tak terjadi. Dan saya pun (mungkin juga banyak orang) jadi percaya bahwa Mbah Maridjan itu memang linuweh. Dan agaknya karena hal itu juga, kemudian beliau jadi terkenal di pemberitaan media dan ujung-ujungnya jadi bintang iklan 'rosa-rosa!' (untuk orang yang demikian rendah hati seperti Mbah Maridjan, saya terus bertanya-tanya kenapa beliau mau jadi bintang iklan. tapi mungkin itu manusiawi sih).

Lalu beberapa waktu lalu, tersiar kabar Merapi menggelegak lagi. Saya nggak terlalu kaget. Karena memang rasa-rasanya setelah peristiwa gempa Jogja, Merapi tak pernah tenang. Saya pikir, seandainya benar-benar meletus, segala antisipasi sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Meski begitu, saya berharap, Merapi tak benar-benar meletus. Apalagi, di media, tak ada kabar apa-apa dari Mbah Maridjan. Mungkin karena saya dialiri darah leluhur yang begitu percaya pada mitos, saya akui atau tidak, saya percaya tentang hal-hal semacam itu.

Dan Merapi benar-benar meletus ternyata. Saya menanti kabar tentang Mbah Maridjan. Su
ngguh menyedihkan karena kabar yang saya dengar kemudian adalah beliau meninggal terkena lahar panas di rumahnya dalam posisi sujud bersaama 11 orang lainnya. Kabarnya, beliau mau dievakuasi, tapi setelah shalat Maghrib. Kabarnya, beberapa orang yang meninggal bersamanya, karena ingin menjemput dia. Ada banyak yang bilang, itu kematian yang konyol. Banyak yang menyesalkan, seandainya Mbah Maridjan mau turun, ke-11 orang itu tak akan mati dan mungkin beliau juga tak akan mati. Sejujurnya, saya juga berpikir demikian.

Tapi saya merasa tidak puas dengan pikiran itu. Apa memang demikian? Apa sebenarnya yang terjadi di rumahnya waktu itu? Sebagai juru kunci Merapi, benarkah ia tak tahu kalau Merapi benar-benar akan meletus? Apakah kemampuannya hanya sekadar mitos dan bahwa perhitungan teknologi ilmiah dan modern-lah yang memang benar? Mungkin beliau hanya 'manusia biasa' yang kadang salah membaca tanda. Atau memang beliau tahu dan memang ingin memegang prinsipnya untuk tetap 'lungguh'? Tapi bagaimana dengan 11 orang lainnya yang bertahan demi dia? Atau...entahlah. Tak ada yang tahu apa sebenarnya yang terjadi sebelum kejadian naas itu. Mungkin saja beliau menyuruh turun orang-orang itu, mungkin juga dia dihinggapi takut dan ragu...Wallahualam. Manusia memang begitu kecil, Tuhan. Dan apapun sebenarnya yang terjadi, selamat jalan, Mbah. Semoga damai Engkau di sisi-Nya.

"Nek wis saguh yo kudu lungguh, sing kukuh ora mingkuh.' (Mbah Maridjan)

Untitled


Lagi, bencana datang. Gempa 7,2 SR di Pagaiutara & selatan Mentawai. Disusul tsunami. Ratusan orang meninggal, ratusan orang masih hilang. Di seberang lautan, gunung Merapi memuntahkan laharnya. Puluhan orang meninggal, termasuk Mbah Marijan. Allahu Akbar. Maha Besar Engkau, ya Allah. Dan kami demikian kecil dan tak berdaya apa-apa.

Sunday 24 October 2010

Kosong


Perasaan itu akhirnya menguap, pergi. Seperti embun yang terbakar matahari. Ada lega, tapi juga kehilangan. Entah kapan kutemukan sebelah sayapku, jika memang benar ada.

Saturday 9 October 2010

Untitled

Stuck here. Antara keinginan untuk bertahan dan tidak bertahan. Antara merasa ingin berguna dan takut tak berguna. Antara berpikir untuk belajar menyukai dan berpikir telah menyia-nyiakan waktu. Dan tahun sudah akan berakhir lagi...