Tuesday 25 November 2014

Musik Keren: J-Musik

1. The Blue Hearts
Sejujurnya, saya baru familiar sama Blue Hearts akhir-akhir ini, setelah nonton film Linda Linda Linda (judul film ini sendiri adalah salah satu judul lagunya Blue Hearts), padahal, Blue Hearts bisa dibilang grup musik yang cukup senior. Sangat senior malah. Bagaimana nggak, The Blue Hearts (ザ・ブルーハーツ,  Za Burū Hātsu?) saja dibentuk pertengahan tahun 80-an.

The Blue Hearts mengusung musik punk rock dan cukup sering mengundang kontroversi dengan menggunakan kata-kata tabu dan konon meludahi kamera tivi yang bikin mereka nggak boleh tampil di tv selama setahun (hihi, namanya juga anak punk :) ).

Meski mendulang sukses, sayangnya band ini nggak berumur panjang. Tahun 1995 mereka bubar. Meski umurnya nggak panjang, tapi agaknya The Blue Hearts benar-benar meninggalkan jejak yang berarti banget di kancah musik Jepang. Nggak heran kalau HMV Japan menobatkan mereka dalam daftar 100 most important Japanese pop acts pada urutan ke-19. Musik mereka keren, khas punk yang kalau dengerin rasanya ingin ikut teriak. Meski begitu, lirik-lirik mereka tetap terasa puitis.

My Fave songs of Blue Hearts:
1. Owaranai Uta
2. Boku no Migite
3. Love Letter
4, Linda Linda
5. Shalala
6. Kiss Shite Hoshi
7. Yori ai waKome te


2. Monkey Majik
Saya dengar Monkey Majik dari soundtrack film Yoru no Pikiniku, Futari, yang langsung mengusik telinga. Penasaran, saya browsing-browsing di internet coba dengerin lagu mereka yang lain. Bagus-bagus ternyata.

Monkey Majik, meski band Jepang tapi dibentuk sama bukan orang Jepang, Maynard Plant yang asal Kanada. Awalnya, Maynard ini kerja di Jepang sebagai asisten guru bahasa Inggris (Assistant Language Teacher/ALT/ JET Prgram) sejak tahun 1997. Lalu tahun 2000, bareng rekannya, Thomas Pritchard, Chad Ivany, dan Misao Urushizaka, bikin Monkey Majik. Nama Monkey Majik sendiri adalah ide dari Tom Pritchard, diambil dari lagu band asal Inggris, Godiego, Monkey Magic.

Sayang, Pritchard dan Ivany nggak lama bertahan. Maynard pun ngajak adiknya, Blaise untuk gabung di band. Misao juga kemudian keluar. Saat ini,selain kakak adik Plant, ada dua anggota lain, Tax di drum dan Dick sebagai bassist.

Meski awalnya cuma sekedar hobi, setelah merilis EP bertitle, TIRED tahun 2001 dan laku di pasaran, mereka mulai serius bermusik dan kemudian makin populer, tentunya.

Yang unik dari Monkey Majik mungkin adalah lagu-lagunya yang yang meski campuran bahasa Jepang dan Inggris seperti kebanyakan lagu-lagu pop Jepang, tapi lirik bahasa Inggrisnya yang lebih banyak lalu dicampur sedikit lirik bahasa Jepang. Musiknya meski bisa dibilang mainstream, tapi mereka punya gaya sendiri yang membedakannya dengan band-band lain. Sentuhan vokalis Maynard yang khas juga menjadi ciri khusus band.

Hal lain yang juga unik dari Monkey Majik ini, konon meski sudah sukses secara komersil, tapi mereka tetap berbasis di Sendai, kota tempat band ini dibentuk, yang lokasinya sekitar 350 km dari Tokyo. Sepertinya mereka nggak tertarik untuk pindah ke Tokyo, seperti kebanyakan band atau musikus yang sudah sukses. Salut lah, meski sudah sukses, kayaknya mereka tetap humble :)

Fave song of Monkey Majik:
1. Futari
2. Sakura
2.Aishiteru
3. Aitakute
4. Don’t You Cry
5. Akari
6. Mitsumoto


3. Aqua Timez
Dengar Aqua Timez pertama kali? Hmm, lupa saya. Sepertinya sih nggak sengaja dunlut di internet dan pas didengerin ternyata unik juga lagunya mereka. Saya coba beberapa lagu lagi, ternyata juga enak. Menurut saya lagu mereka unik. Syairnya panjang-panjang dan cenderung datar (bikin kesel karena susah ngikutin nyanyinya :) ) tapi tetap enak didengar.

Aqua Timez dibentuk tahun 2000. Futoshi (vokal) sama OKP-Star (Ōkēpī-Sutā), bassist,  ketemu di internet dan sadar kalau mereka kuliah di tempat yang sama. Mereka kemudian bikin Aqua Times dan tahun 2003 bikin mini album dan single yang mereka produseri sendiri.

Tahun 2005 mereka ganti nama jadi Aqua Timez dan mereka merilis mini album Sora Ippai ni Kanaderu Inori, yang masuk no #1  Oricon weekly album chart. Tahun 2006, mereka kemudian menandatangani kontrak dengan Sony Music Ent. dan merilis mini album, Nanairo no Rakugaki dimana single pertama mereka, “Ketsui no Asa Ni” dipakai untuk soundtrack film Brave Story. Lagu mereka yang lain, “Sen no Yoru wo Koete” (Passing Over a Thousand Nights), masuk no 5 di Oricon chart. Setelah itu, kepopuleran pun mengikuti mereka.

Favorite:
1. Ketsui no Asa ni
2. Ehagaki no Haru
3. Sen no Yoru wa Koete
4. Chiisana Tenohira
5. Itsumo Issho


4. L'ar-en-Ciel
L’arc-en-Ciel (Laruku), nggak berlebihan kiranya kalau menyebut mereka sebagai the greatest J-rock band ever. Bagaimana tidak? Meski mengusung musik bernuansa japanese rock yang kental, tapi mereka bisa mendunia, bisa disejajarin dengan band-band rock dunia lainnya.

L’arc-en-Ciel (yang dalam Bahasa Perancis berarti ‘Pelangi‘) dibentuk tahun 1991 di Osaka. Awalnya adalah Tetsuya (Tetsu, bassist) yang punya ide bikin band dengan mengajak Hyde (Hide, vocal), Hiro (gitar) dan Pero (drum). Sejak awal, namanya memang sudah L’arc-en-Ciel. Sayang, setahun kemudian, Hiro hengkang dari band (kemudian diganti sama teman kuliah Tetsu di Nagoya Institute of Technology, Ken). Masalah belum selesai karena Pero sang drummer juga kemudian keluar, hingga kemudian diganti sama Sakura.

Tahun 1993, L’arc-en-Ciel rilis album pertama mereka, Dune, di bawah indie label, Danger Crue yang langsung sukses menduduki Oricon indies chart. Kesuksesan itu bikin mereka kemudian dilirik sama major label, Sony’s Ki/oon dan mereka ngeluarin album, Tierra (1994). Album berikutnya, True (1996), sukses banget di pasaran. Dan sesudahnya, L’arc-en-Ciel semakin sukses...

My Favourite songs of Laruku:
1. Anata
2. Hitomi ni Jyunin
3. Ibara no Namida
4. L’heure
5. Jyoushi


5. Spitz
Denger nama Spitz sudah lama… sekali. Waktu itu dapat kiriman surat pendengar dari radio NHK untuk siaran Bahasa Indonesianya dan dikasih semacam song of the month. Pas lagunya Spitz, Robinson. Waktu itu nggak terlalu ngeh karena belum pernah dengar lagunya. Belakangan saya coba browsing di internet dan ketemu lagu-lagu Spitz. Coba didengerin, ufh, ternyata lagunya enak-enak. Sejak itu, saya nobatin Spitz sebagai salah satu band Jepang favorit saya. Lagu Spitz yang pertama mengena, Kimi Ga Omoide ni Naru Mae ni. Sakana liriknya lucu. Lalu Oomiya Sanseto dan J’et aime yang terasa begitu menghanyutkan.

Musik Spitz konon dipengaruhi sama Donovan, british band. Nama Spitz dibuat sama Kusano, sang vokalis,  dari Bahasa Jerman, yang artinya ‘tajam/runcing’. Di samping juga ada anjing ras JapaneseSpitz yang senang menggonggong (cocok untuk citra band) dan pernah populer di tahun 60-70an. Konon Kusano pengin ngasih nama ini untuk bandnya di sekolah menengah, tapi teman-temannya nggak pada setuju. Fans Spitz sendiri disebut, Spitsbergen, kayak nama sebuah pulau di Norway.

Saya nggak tahu bagaimana kepopuleran band ini di Jepang, tapi di Indonesia, sepertinya tak terlalu terkenal. Mungkin karena sudah senior jadi kalah populer sama band-band baru yang terus bermunculan. Whatever, I like Spitz so much! Nggak seperti kebanyakan J-rock yang riuh, musik Spitz cukup jernih di telinga, bisa dibilang ballad, tapi juga nggak mellow dan liriknya juga tak terlalu panjang-panjang (seperti kebanyakan lagu Jepang) tapi tetap indah. Ditambah vokal Kusano yang khas. Semoga mereka terus berkarya.

My Favourite Songs of Spitz:
1. Kimi ga Omoide ni Naru Mae ni (selain musik yang enak, liriknya juga terasa dalem)
2. Sakana (liriknya unik. sakana sendiri artinya: ikan :) )
3. Oomiya Sanseto (nuansa akustik yang kental. menghanyutkan!)
4. J’taime (romantis :) )
5. Robinson (so Spitz…)
6. Koi no Uta (lagu yang terdengar jenaka, seperti orang yang lagi dimabuk cinta)
7. Amai te (intronya keren
)

6. Remioromen

Awalnya ‘terganggu’ dengan ending theme-nya dorama One Litre of Tears yang ditayangin sebuah tivi swasta. Nyari di internet, dan dapatlah nama Remioromen  (レミオロメン). Di dorama itu, Remioromen nyumbang dua lagu: Konayuki dan Sangatsu Kokonoka (March 9). Dua-duanya keren. Nggak ding, tapi keren banget! :) Hingga kadang saya menempatkan sebagai ‘theme songs of my everyday life’ karena nyaris nggak pernah bosan dengerinnya.

Seperti umumnya band Jepang, genre Jpop/Jrock mereka cukup kental. Kadang terlalu riuh atau ‘flat’, kadang ada satu dua lagu yang terlalu mirip.. dan karenanya, jujur, saya nggak bisa menikmati semua lagu Remioromen. Meski begitu, Remioromen masuk dalam my japanese most fave band. Apa yang membuat saya suka? Musiknya, lirik-liriknya…nggak seperti kebanyakan Jrock yang berisik, Remioromen terkesan lebih melodius ditambah vokal Ryota Fujimaki yang agak ‘berat’ tapi jernih.

Remioromen sendiri mulai aktif sejak tahun 2000, dibentuk sama tiga anak muda dari Yamanashi Prefecture: Ryota Fujimaki, Keisuke Maeda dan Osamu Jinguji. Konon nama Remioromen sendiri nggak punya arti khusus, cuma semacam permainan kata. Meski mereka nggak populer-populer banget, tapi mereka tetap eksis dan agaknya mendapat apresiasi yang bagu di negeri asalnya sono.

Kalau di list, ada lagu-lagu Remioromen yang saya suka:
1. Konayuki
2. Sangatsu Kokonoka (March 9)
3. Shinkokyu
4. Natsu no Hi
5. Natsu Mae Coffee
6. Nami
7. Bokura Wa
8. Akenezora
9. Wonderful Beautiful
10. Beer to Purin
11. Ryuusei
12. Umi no Ballad


7. One Ok Rock
Bisa dibilang One Ok Rock adalah generasi mudanya band rock Jepang. Band ini dibentuk tahun 2005. Toru yang waktu itu masih SMA, ngajak kawannya, Ryota, lalu ngajak Alex dan Taka sebagai vokalis. Terakhir adalah Tomoya, si drummer.

One Ok Rock sendiri konon berasal dari kata bahasa Inggris 'one o'clock' yang merupakan jam yang dipakai band untuk berlatih di akhir pekan. Dan karena dalam bahasa Jepang huruf 'l' biasanya dilafalkan 'r' jadilah 'o'clock' dilafalkan 'o'crock' dan kemudian dibuat nama band 'ok rock.'

Meski dibilang masih 'muda', namun lagu-lagu mereka sudah jadi langganan di Oricon Charts, chart-nya lagu-lagu Jepang. Hingga saat ini mereka sudah merilis 5 album.

One Ok Rock bisa dibilang salah satu dari sedikit j-rock band 'muda' saat ini yang meraih sukses, di tengah hebohnya boyband-boyband-an. Tentu saja, ini tak lepas dari kualitas bermusik mereka yang memang bisa diacungi jempol. Ganbare, One Ok Rock! :)

My Favourite:

1. Wherever You Are
2. Etcetera
3. Hitsuzen Maker
4. Answer is Clear

Wednesday 5 November 2014

The Fun of "Ngubek-ubek" Obral Buku

Ketika bepergian ke suatu tempat dan di tempat tersebut ada toko bukunya, saya biasanya selalu menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Mungkin terkesan tidak menarik karena toko buku toh di mana saja hampir sama. Eits, jangan salah. Meski dari segi penampakan nyaris sama saja, tapi tidak demikian dengan koleksi-koleksinya. Incaran saya terutama adalah 'buku obral'nya. Kenapa? Karena seringkali saya menemukan buku-buku lama yang bagus dengan harga yang relatif miring. Buku-buku yang kadang sudah lama dicari-cari tapi tak ketemu-ketemu dan eh, tahu-tahu nyelip di antara tumpukan. Kalau sudah begitu, saya seringkali merasa seolah menemukan harta karun (hiperbolis!) dan tak jarang pula saya jadi kalap. Tak heran jika bepergian dari sebuah tempat seringkali tas saya berat bukan berisi oleh-oleh khas daerah tersebut, tapi malah oleh buku-buku, hihi...
Beberapa buku yang saya peroleh dari hasil ngubek-ubek toko buku di berbagai tempat

Saturday 1 November 2014

Solilokui untuk Jogja

Saya 'resmi' meninggalkan Jogja sejak sekitar lima tahun lalu. Selama lima tahun itu, sebenarnya saya masih cukup sering menjejakkan kaki di Kota Gudeg, tapi rentang waktunya hanya sebentar-sebentar sehingga tak semua tempat di Jogja bisa sempat saya singgahi. Karena biasanya dari bandara, paling saya hanya melewati antara jalan dari bandara, Jl Solo, sekitaran UGM, Malioboro hingga Jokteng. 

Dan saya menyadari, setiap berkunjung ke kota ini, ada hal-hal yang terus berubah. Bangunan-bangunan baru terus bermunculan. Hotel-hotel megah, pusat-pusat perbelanjaan, kafe-kafe cozy dan sophisticated... jalanan yang semakin padat dan semrawut, udara yang makin panas...Puncaknya, kemarin malam, ketika kebetulan saya 'diajak' muter-muter travel yang saya tumpangi untuk menjemput penumpang ke seputaran ring-road, Jl Magelang-Jombor, saya terperangah. Benarkah ini Jogja? Dimulai dari sekitar Monjali, adalah Taman Pelangi yang dihiasi banyak lampion temaram dan food court. Oke, saya pikir ini perkembangan bagus karena selama ini Monjali hanyalah sebuah monumen yang kering. Berikutnya,adalah flyover Jombor yang tampak gagah...dan saya benar-benar ternganga ketika sampai di Jl Magelang: sebuah bangunan megah berdiri menjulang: Jogja City Mall. Apakah saya benar-benar sedang berada di Jogja?

Jogja dari puncak Taman Sari, 2008

Belakangan, saya membaca kalau selain Jogja City Mall, yang konon digadang sebagai pusat perbelanjaan terbesar di Jogja dan Jawa Tengah, akan segera hadir pula 4 pusat perbelanjaan lainnya: Sahid Jogya Lifestyle di Babarsari, Lippo Mall Saphir di Jl Laksda Adisucipto (eks Saphir Square), dan Hartono Lifestyle Mall di Ring Road Utara. Kehadiran mall-mall baru itu akan menambah mall-mall yang sudah ada di Jogja sebelumnya, yakni Galeria Mall, Malioboro Mall dan Ambarukmo Plaza.

Saya tidak terlalu paham apakah semua pembangunan itu berdampak baik atau buruk. Hanya saja, selama ini saya selalu merasa Jogja itu bersahaja, tenang dan cenderung 'ndeso'  dengan slogan "Jogja berhati Nyaman" yang menurut saya (dulu) sangat pas untuk menggambarkan Jogja. Dan melihat semua perubahan itu, saya benar-benar merasa agak syok. Saya tak hendak beromantisem dan meratapi perubahan. Perubahan adalah hal yang mutlak dan tidak selalu buruk (dan saya harap semua perubahan itu memang bukan sesuatu yang buruk). Bahwa Jogja semakin 'maju', 'modern' dan metropolis, meski dengan agak berat hati, saya pikir itu hal yang tak bisa dicegah dan mungkin juga sesuatu yang bagus. Saya melihat dari waktu ke waktu, Jogja semakin ramai dikunjungi wisatawan. Pastilah itu perkembangan yang bagus untuk bisnis pariwisata dan saya turut bangga karenanya.

Pasar Beringharjo tahun 1910. Bagaimana ya rasanya hidup di Jogja pada masa itu? (sumber gambar: tembi.net)

Tapi saya juga tak bisa untuk tak risau ketika membaca berbagai berita tentang pembangunan hotel yang gila-gilaan dan dampaknya terhadap lingkungan. Bayangkan jika konon satu kamar hotel memerlukan 380 liter air (sementara satu rumah tangga hanya sekitar 300 liter air). Sementara jumlah hotel di Jogja pada tahun 2013 adalah 401, dimana 39 hotel berbintang dan sisanya non bintang (sumber: http://regional.kompas.com/, "Sultan HB X Kendalikan Pembangunan Hotel"). Jika satu hotel saja memiliki setidaknya 20 kamar bisa dibayangkan kan kebutuhan airnya? Dan bisa dipastikan siapa yang harus "mengalah" dalam hal ini.  

Belum lagi pembuangan limbah dan kebutuhan lahan parkir.Bukan apa-apa, Jogja itu kota kecil secara luasan. Bahkan seluruh provinsi Jogja bisa dikitari dalam waktu satu hari. Tanpa bangunan-bangunan baru itu saja selama ini Jogja sudah padat dengan penduduknya. Dengan adanya bangunan-bangunan baru itu, tentu saja Jogja akan semakin berdesakan, 'uyel-uyelan', ruang hijau yang makin terbatas dan mungkin di ujung-ujung adalah ketergusuran. Bisa ditebak kan siapa yang bakal tergusur dalam kasus seperti ini? Hmm, mudah-mudahan saja tidak sampai seperti itu. Saya selalu positive thinking bahwa Jogja dihuni oleh orang-orang cerdas dan kreatif  (termasuk para pejabat daerahnya) yang tak akan membiarkan kotanya berubah menjadi kota yang 'menyedihkan' dan "Tak Berhati Nyaman". Semoga saja begitu...

(selepas dari Jogja, 29 Oktober 2014)