Sunday 30 August 2009

Menjelajah Sinabung

Setelah sekian lama memendamnya, akhirnya keinginan untuk mendaki gunung itu kesampaian juga. Tidak beruntung bersekolah di sekolah ‘favorit’dengan kegiatan ekstra-kurikuler yang canggih, memaksa kami untuk melakukan banyak hal dengan inisiatif sendiri. Dan itulah yang kami lakukan. Kami berenam—aku, Bertha, Elida, Hotma, Rory dan Tina ditambah seorang teman lagi, Lela. Semuanya cewek. Sebagai umumnya banyak anak sekolah menengah, kami membuat semacam geng. Suka mencoba hal-hal baru, mungkin itu yang menyatukan kami meski sifat dasar kami banyak memiliki perbedaan.

Awalnya, kami merasa begitu sebal setiap kali teman-teman cowok kami bercerita seru sepulang dari naik gunung. Berulang kali kami meminta agar mereka mengajak kami jika suatu saat nanti akan naik gunung lagi. Dan meski mereka selalu mengatakan “iya” tapi kenyataannya mereka sepertinya tidak pernah serius menanggapi permintaan kami. Barangkali, mereka berpikir, membawa para cewek ketika naik gunung hanya akan merepotkan saja di perjalanan. Oke, merasa sebal sekaligus penasaran, akhirnya kami nekat memutuskan untuk naik gunung sendiri. Tokh informasi utama seperti bagaimana jalan ke sana, naik bus apa dan sebagainya sedikit banyak kami kuasai karena beberapa dari kami berasal dari daerah yang tak jauh dari gunung-gunung tersebut. Bertha dan Lela misalnya, berasal dari Kabajahe, kota kecil di dekat Berastagi.
Ada dua gunung yang terkenal di Medan, Sinabung dan Sibayak. Karena bentuknya yang mirip, kedua gunung itu disebut-sebut sebagai gunung kembar meski memiliki ketinggian yang berbeda. Gunung Sibayak setinggi 2212 meter dan Gunung Sinabung 2451 meter. Selain lebih tinggi, Gunung Sinabung juga terkenal dengan medannya yang masih sulit. Terjal dan jalannya masih berupa setapak. Berbeda dengan Sibayak yang lebih landai dan sudah terdapat fasilitas jalan raya sampai mendekati puncak.

Setelah memperhitungkan biaya segala macam, pada suatu akhir pekan kami akhirnya memutuskan untuk berangkat naik gunung. Karena kami merasa tak percaya diri tak mempunyai pengalaman naik gunung sama sekali, kami meminta bantuan seorang teman cowok untuk menemani kami. Karena teman cowok ini juga tak berpengalaman dalam hal naik gunung, ia meminta temannya yang konon memang ‘jago gunung’ untuk menemani kami. Namanya Bangun. Mungkin kedengaran aneh, tapi di tanah Batak, nama-nama semacam itu adalah sesuatu yang lazim. Sepertinya, banyak orang tua yang menamai anaknya sesuai dengan apa yang ia lihat atau apa yang dia alami ketika hamil atau melahirkan. Tak jarang kita mendengar seorang bernama Gunting Sitepu, Jatuh Bangun dan sebagainya.

Kami belum pernah bertemu Bangun sebelumnya, jadi kami agak kaget sewaktu ia datang menemui kami dan mengatakan bahwa ia disuruh teman cowok kami untuk menemani kami. Lalu ia bertanya, kemana kami akan naik, Sibayak atau Sinabung? Meski kami sudah sering mendengar berbagai informasi tentang kedua gunung itu, kami tak tahu mana yang sebaiknya kami daki. Sibayak memang lebih mudah, tapi Sinabung lebih menarik, katanya. Dan akhirnya kami menuruti sarannya.

Peralatan kami begitu alakadarnya: tas ransel kecil berisi beberapa bungkus roti, beberapa botol air mineral, senter dan baju hangat. Hanya itu yang kami bawa. Sama sekali tak terpikirkan untuk membawa tenda dan perlengkapan mendaki lainnya. Sudah kubilang, kami sama sekali tak berpengalaman.

Menjelang senja kami berangkat. Pertama, kami menuju terminal bus yang akan membawa kami ke Berastagi. Sempat terjebak macet di beberapa sudut kota karena seperti di kebanyakan kota, pada akhir pekan jalan raya begitu padat. Orang-orang berkendaraan tumpah ruah seperti laron yang muncul sehabis turun hujan. Heran kadang melihat keriuh-rendahan semacam itu.
Hari sudah gelap saat kami sampai di terminal. Dan…ya ampun, kami benar-benar tak menyangka orang berjubel sebanyak itu berebut bus. Setiap kali bus datang, segera saja orang-orang berlarian menyerbu masuk. Kebanyakan orang-orang muda dengan menggendong ransel besar, mahasiswa atau anak sekolahan seperti kami. Sudah bisa ditebak, mereka akan naik gunung seperti kami atau sekadar berkemah di sekitar Sibolangit—sebuah kawasan hutan di dekat Berastagi. Agaknya, akhir pekan memang selalu menjadi momen yang tepat untuk melepaskan diri dari berbagai kepenatan rutinitas hidup di kota.

Beberapa bus datang dan pergi dan kami belum juga mendapatkan bus karena selalu kalah berebut. Baru setelah beberapa waktu lewat, kami akhirnya mendapat tempat. Meski begitu, kami harus ‘rela’ duduk di atap bus karena memang ruang duduk di dalam sudah penuh. Ini juga pengalaman pertama naik di atap bus. Awalnya merasa ngeri tapi setelah beberapa lama kami justru menikmatinya. Kami bisa menjerit atau tertawa keras-keras setiap kali bus berbelok di jalanan menikung atau memiring tajam di jalan mendaki. Hembusan angin malam yang langsung mengenai wajah kami, meski terasa dingin, tapi juga menghadirkan rasa sejuk yang menyenangkan.

Perjalanan dari Medan ke Berastagi memakan waktu sekira dua jam. Semarak kota Berastagi menyambut kami. Meski terkenal sebagai kota dingin, tapi suasana Berastagi di waktu malam terasa hangat. Terutama di akhir pekan. Kedai-kedai dan toko-toko kecil yang berada di kanan kiri jalan terlihat ramai. Wajar, Berastagi adalah kota wisata. Tak hanya wistawan dome, banyak juga wisatawan asing yang berkunjung ke kota ini. Udaranya yang segar dan pemandangan alam yang indah menjadi daya tarik utamanya. Pada waktu-waktu tertentu, sering diadakan berbagai pertunjukan di panggung terbuka yang berada di tengah-tengah kota. Pesta buah diadakan sekali setahun. Pada kesempatan ini, berbagai kesenian dan makanan tradisional disajikan.
Bangun mengajak kami ke terminal bus yang akan membawa kami ke Lau Kawar, desa di kaki Gunung Sinabung. Ketika kami sampai di terminal kecil yang terletak di dekat pasar, ternyata sudah tidak ada lagi kendaraan. Agaknya kami sudah terlambat. Untunglah, kemudian ada dua orang bapak-bapak membawa pick up yang bersedia mengantar kami, setelah melalui tawar menawar harga tentunya.

Mobil melaju kencang di jalanan yang tak terlalu mulus, melewati kebun-kebun jeruk dan sayuran yang sepi dan gelap. Sesekali nyala terang terlihat dari rumah-rumah penduduk. Begitu kencang mobil itu melaju sampai kami terguncang-guncang dengan kerasnya. Begitu mobil berhenti, telinga terasa budeg dan kulit wajah seakan mati rasa diserbu dingin.

Sudah sekitar jam 10 ketika kami sampai di Lau Kawar. Nama Lau Kawar berasal dari nama danau kecil yang berada tepat di kaki Gunung Sinabung. Airnya berkilauan ditimpa kerlip cahaya lampu. Tenda-tenda putih tersebar di tanah lapang di sekitar danau. Sayup-sayup terdengar denting gitar dan alunan lagu, kadang juga tawa dan suara obrolan. Dingin menyergap. Bangun menghilang sejenak. Di kemudian waktu, kami tahu ia ternyata pergi ke danau. Konon, ada semacam mitos untuk meminum air danau itu ketika datang ke sana. Apa fungsi dan manfaatnya, aku kurang tahu. Lagipula, kupikir aku tak akan melakukannya karena meski terlihat jernih, air danau itu agaknya tak terlalu bersih. Orang-orang tak tahu diri sering membuang sampah di sana. Butir-butir nasi dan jenis sampah lainnya terlihat mengapung di pinggir danau. Sungguh sayang sebenarnya, mengingat keindahan danau itu menurutku juga luar biasa. Pada siang hari, airnya terlihat berwarna kelabu dengan pantulan hijau warna pepohonan yang tumbuh di tepiannya.

Kami beristirahat di sebuah warung kecil tak jauh dari danau. Untuk menghangatkan badan, kami memesan teh hangat dan sebagian memesan mi instan rebus. Aku belum makan sedari siang dan aku merasa lapar, tapi hanya itu pilihan makanan yang ada. Apa boleh buat.
Sekitar jam 12 kami berangkat. Bangun mendongak ke atas dan terlihat puncak gunung menjulang. Cuaca cukup cerah. Di shelter pertama, kami bertemu dengan serombongan pendaki lain yang akhirnya bergabung dengan kami. Mereka mahasiswa USU. Bertemu dengan mereka, memberi keuntungan bagi kami karena satu per satu senter kami mati padahal perjalanan baru dimulai.

Kami terus berjalan, sesekali terdengar celetukan yang mengundang tawa, tapi lebih banyak diliputi hening. Hanya dengus nafas memburu yang terdengar. Jalan yang kami lewati adalah jalan setapak, becek dan berlumpur dililiti akar-akar kayu silang sengkarut yang sesekali memaksa kami berjalan ekstra hati-hati. Ketika sampai di jalanan mendaki, kami mulai merasa kewalahan. Lela yang nekat bercelana pendek dan bersendal jepit terserang kram kaki, Hotma dan Tina mulai kelelahan. Bangun dengan gesit membantu, juga beberapa teman baru kami. Aku juga merasa capek, tapi entah kenapa, aku punya semangat luar biasa yang membisikiku untuk terus berjalan. Aku begitu yakin bahwa aku bisa menyelesaikannya sendiri.

Sesekali kami berhenti, menenggak air mineral atau menikmati makanan kecil yang kami bawa. Deru angin bergemuruh disertai suara berbagai penghuni hutan terdengar lamat-lamat. Juga teriakan-teriakan para pendaki lain, baik yang di atas maupun di bawah kami. Aku menatapi dedaunan yang berkeriap-keriap di atas kami dan merasa bahwa keheningan itu tak terlalu menakutkan.

Menjelang puncak, medan lebih sulit karena berupa cadas yang terjal. Untuk melewatinya, kami harus sering merangkak mencari-cari pegangan. Jika kami terpeleset sedikit saja, di bawah kami, jurang menganga siap menerima kami. Mengerikan sekali!

Kami terus merangkak, mengulurkan tangan untuk saling membantu. Suara gemuruh angin terdengar kian riuh. Cahaya bulan bersinar redup, menelusup di antara gumpalan-gumpalan awan berwarna kelabu. Tanganku sudah terasa perih oleh goresan-goresan dan lecet. Tak ada sarung tangan untuk melindunginya. Di bawah sana, di antara bayangan gelap, terlihat kerlip lampu-lampu. Aku membayangkan, pasti penghuninya tengah lelap dibuai mimpi. Aku membayangkan kamar yang hangat… Aku berpikir, kenapa orang mau bersusah payah melakukan hal sulit semacam ini, termasuk juga diriku? Tapi entah kenapa, aku tak merasa pantas untuk mengeluh, apalagi menyesalinya.

Menjelang subuh kami sampai di puncak. Sulit sekali menggambarkan perasaanku begitu melihat cahaya merah di ufuk barat, matahari yang seakan keluar dari batas langit. Luar biasa! Belum lagi putih awan-awan di bawah kami. Aku teringat sebuah lagu berjudul Negeri di Awan dan aku merasa itulah negeri yang dimaksud lagu itu. Negeri di awan. Ya, kami sedang berada di negeri awan!

Life is Beautiful

Aku berpikir tentang orang-orang yang mati muda. Kemarin lusa, berita sore mengabarkan tewasnya seorang relawan gempa di Kali Opak saat mandi sore. Ia masih sangat muda, kelas 2 SMA. Tidakkah itu kematian yang terlalu cepat? Atau juga relawan Merapi, yang mati terjebak di bunker padahal tinggal selangkah lagi ia menjadi sarjana. Tidakkah ia—menjelang kematiannya—memikirkan perjalanan hidup yang masih ingin dilaluinya?

Gie menulis; yang paling indah adalah tak pernah dilahirkan. Yang indah adalah mati muda. Dan dia juga mati muda. Masih sangat muda malah. Dan banyak orang yang mati muda. Apa itu indah ketika kita masih berpikir untuk melakukan banyak hal esok hari, lusa dan tahun-tahun mendatang tapi kita tak lagi punya kesempatan untuk melakukannya?
Lantas, aku menyadari bahwa setiap detak jantung kita ternyata begitu berharga. Ia adalah harapan. Ia adalah keinginan. Mimpi-mimpi. Dan semuanya begitu indah. Hidup. Meski kadang sakit mendera, luka menyayat, itu hanya bagian kecil saja, yang kadang tak kita sadari, juga sama sangat berharganya seperti ketika kita tertawa dan bahagia.

(10 Juli 2006. Cikeusal Lor. Pagi kekalahan Prancis oleh Italia. Pagi yang riuh oleh cicit burung…)

Laron

Ini tentang laron. Laron-laron kecil yang beterbangan mengerumuni lampu. Jumlahnya luar biasa banyak. Ratusan, bahkan mungkin ribuan. Mereka datang begitu tiba-tiba. Mungkin mereka sedang merayakan keberhasilan mereka menemukan cahaya, usai proses metamorfosis mereka yang panjang di gelapnya lubang tanah.

Cicak-cicak merayap di dinding, siap menjulurkan lidahnya setiap kali laron-laron itu melintas. Dan hap! Makhluk kecil yang tengah berpesta pora itu pun dilahapnya. Kami merasa begitu terganggu dengan kehadiran mereka. Lampu dimatikan, lalu lilin dinyalaka di tengah baskom yang telah diisi air. Laron-laron itu pindah merubungi lilin. Mereka begitu senang oleh silaunya cahaya, dan tak sadar bahwa bahaya menunggu. Satu per satu laron jatuh. Sayap-sayap mungil mereka patah. Lalu mereka menggelepar di dalam air. Begitulah cara laron-laron itu mati. Aku berpikir, sungguh menyedihkan menjadi laron. Melihat terangnya dunia, merayakan metamorfosis mereka, untuk kemudian mati.

(Medio Agustus 2006. Malam di Pondokan)

hari itu ketika hujan

hari itu ketika hujan. kami berjalan beriringan. di tengah derai dan gelegar halilintar. tetes-tetes air tempias, jatuh di wajah kami. basah. kami berhenti. berhenti di bawah papan reklame yang disoroti lampu warna-warni. kami terdiam. menunggu hujan mereda sambil menatapi jalan yang menghitam berkilauan. hujan telah usai. dan kami tetap menatapi jalan dalam diam.

Friday 28 August 2009

Mari Berbagi

mari berbagi cerita. dengan berbagi kita bisa saling melengkapi. dengan berbagi kita bisa lebih saling memahami.