Monday 22 November 2010

Untitled


Sampai pada titik meragukan bahwa cinta itu benar-benar ada

Saturday 13 November 2010

Untitled


Why can't we just dream away?
We're not real, anyway

Float- Stupide Ritme

Sunday 7 November 2010

Matre


Ini tentang uang. Beberapa waktu lalu, saya ingat obrolan dengan Pia, seorang teman yang datang dari Jerman. Kami sedang duduk-duduk di belakang kantor lapangan dan mengobrolkan banyak hal. Lalu entah kenapa saya sampai pada cerita tentang orang-orang Rimba yang kalau difoto minta dibayar. Memang kenapa? tanya Pia menanggapi cerita saya.
Itu nggak bagus, kata saya. Mereka jadi terlalu materialistis. Tambah saya lagi.

Itu wajar kan? ujarnya. Di beberapa tempat juga begitu, mau foto sama monyet atau orang hutan juga kita harus bayar. Apa bedanya? Saya tertohok.

Iya, apa bedanya? Kenapa saya berpikir bahwa monyet nggak papa matre tapi tidak dengan manusia? Karena monyet butuh biaya pemeliharaan? Tapi manusia kan juga butuh uang untuk makan?

Dan saya terus memikirkan hal ini hingga beberapa waktu kemudian dan berusaha mencari pembenaran kenapa nggak bagus kalau Orang Rimba itu dikasih uang ketika hendak difoto. Bukan cuma sekedar alasan etika.



Soal uang ini kembali mengusik saya ketika kemarin, Derek, seorang volunter dari Amerika di kantor saya ngomongin soal kursus bahasa Inggris. Derek, sebagaimana volunter sebelumnya, bertugas membantu translating dan ngajarin bahasa Inggris untuk staf. Lalu beberapa dari kami, yang ingin nyari beasiswa ke luar negeri, minta dia untuk bantu ngajarin TOEFL.

Volunter sebelumnya, Carol, dulu dengan senang hati menyanggupi hal ini. Kapan kami mau, Carol bersedia. Tapi Derek memberi jawaban yang agak mengejutkan ketika kami minta untuk hal ini. Dia memang bersedia, ia siap mengajar di hari Sabtu atau Minggu, hari libur kerja tapi bukan dengan cuma-cuma. Ia minta dibayar. Itung-itungannya, ia harus merelakan waktu liburnya untuk bekerja. Masuk akal sebenarnya. Tapi tetap saja saya merasa terkejut. Dan saya pikir juga teman-teman yang lain.

Ini bukan lagi soal masuk akal atau tidak, tapi persoalan etika, nilai. Ketika dia menyebutkan soal bayaran, saya tak bisa tidak langsung mencap dia matre, money oriented, nggak punya jiwa sosial...dan itu membuat saya memandang sinis dirinya. Bahkan saya kemudian berpikir, kalau sama-sama bayar, mending saya kursus di luar daripada saya harus bayar ke orang matre kayak dia.

Mungkin pikiran saya ini kurang rasional. Mungkin juga terlalu kolot. Saya berpikir, meski saya sudah mengenyam pendidikan formal hingga perguruan tinggi, sebutlah saya ini manusia modern, tapi ternyata alur pikiran saya kadang masih sangat konvensional. Ya bagaimana? Saya dibesarkan dengan nilai-nilai budaya semacam itu.

Saya kemudian sampai pada pemikiran, mungkin nggak ada yang salah dengan menjadi matre, money oriented atau malah disebut porfesional. Tinggal bagaimana kita memandangnya. Bagaimana kita melekatkan nilainya saja.

Surga Kebaikan?




Saya mencoba memaknai kefanaan hidup. Jika surga atau neraka tak ada, bagaimana?
Itu nggak adil, kata Deddy Mizwar suatu ketika di layar tv. Dan saya sering kepikiran hal itu. Saya sendiri meragukan apakah surga atau neraka itu benar-benar ada. Jika memang adapun, saya nggak sepenuhnya percaya seperti apa yang digambarkan dalam doktrin-doktrin agama.

Neraka itu panas membara, surga itu indah, ada sungai-sungai yang mengalir, ruangan bak istana, para bidadari cantik....Saya pernah membaca sebuah tulisan tentang pengalaman terdampar di tengah daratan salju. Katanya sangat menyakitkan sampai-sampai si terdampar menulis, mungkin saja neraka itu dingin membekukan tulang. Karena itu juga sangat menyakitkan.

Lalu surga dengan bidadari-bidadari cantik? Tidakkah itu sangat patriarkis? Juga kenapa acuannya pada sesuatu yang bersifat 'seksual'?

Tapi jika memang surga dan neraka nggak ada, lantas apa? Itu memang terasa nggak adil. Bagaimana dengan orang-orang baik yang selalu hidup susah di dunia? Bagaimana dengan orang-orang berhati busuk yang hidup enak di dunia?

Hari ini aku memikirkan tentang kebahagiaan. Bagaimana kebahagiaan muncul karena kita berbuat kebaikan pada orang. Aku berpikir, mungkin itulah balasan atas kebaikan, jika memang surga itu nggak ada. Tapi apa itu sepadan? Rasa bahagia. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang tak mengerti artinya kebaikan? Banyak juga orang-orang jujur yang harus bernasib tragis. Bahkan sampai harus bertaruh nyawa. Kalau bukan surga, balasan apa yang sepadan untuk orang-orang seperti itu? Karma? Entahlah.

Mungkin memang surga dan neraka itu ada. Entah juga tidak. Mungkin yang penting
adalah tulus berbuat kebaikan dan merasa bahagia. Kebahagiaan, mungkin itulah surga.
Wallahu'alam.

Friday 5 November 2010

Merapi


Merapi terus meletus. Entah sampai kapan. Merapi seperti mengamuk. Entah apa yang terjadi di bawah bumi sana. Sebagai Orang Jawa, tak urung aku kadang penasaran dengan mitos-mitos yang berkembang. Bagaimana orang-orang keraton menanggapi hal ini? Mitos-mitos apa yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ini? Apapun. Hanya Ia yang tahu apa yang terjadi. Hari ini, jarak aman dimundurkan lagi jadi 20 km. Semoga tak terus bertambah. Amiin. Amiin. Amiin.

Thursday 4 November 2010

Untitled

Kembali ke titik ini lagi, dan lagi. Kosong. Dan Merapi terus meletus. Entah.