Friday 26 September 2014

Ototo wa Koibito



 Tadaima![1]” ucapku sambil melepas sepatu, lalu meletakkannya di dekat pintu.
            Okaeri![2]” terdengar suara Ibu menyahut, seperti biasa, asyik di depan laptopnya. Ibuku memang seorang penulis. Aku berjalan bergegas,         
“Dita!” Ibu menatapku. Ibu tak pernah suka kalau aku berjalan di dalam rumah dengan menghentak-hentakkan kaki. Tapi aku tak mengacuhkan Ibu, meletakkan tas sekolahku dengan kasar di atas meja. Lalu BRAK! kotak pensilnya terjatuh, menimbulkan suara gaduh ketika membentur lantai dan isinya berhamburan.
“Nindita Matsuyama!” kali ini Ibu memekik. Aku mengentikan langkah, mundur. Kalau Ibu sudah memanggilku dengan nama lengkap, artinya Ibu sungguh-sungguh.
Gomennasai,”[3] ujarku sambil memunguti isi kotak pensil lalu memasukkannya kembali ke dalam tas. Ibu mulai mengomel dalam Bahasa Indonesia, lalu Bahasa Jawa yang tak kupahami. Itu kebiasaan Ibu ketika mengomel. Hal yang justru membuatku kian merasa kesal, jadi aku langsung masuk ke kamar. Aku ingin marah dan menangis. Kenapa tak ada yang memahamiku? Kenapa tak ada yang mengerti kalau saat ini aku sedang sedih? Sumber semua ini adalah Haruki. Kami bertengkar lagi seperti biasa. Dia selalu terlalu baik pada semua cewek, termasuk Yumeko yang centil itu. Dan itu membuatku cemburu.
Ibu muncul di ambang pintu.
“Makanlah dulu, Dita,” Ibu selalu bicara Bahasa Indonesia denganku. Ibu mengatakan, bahwa aku tak boleh lupa dengan bahasa itu, jadi aku pun harus selalu menggunakan Bahasa Indonesia ketika bicara dengan Ibu. Tapi semakin hari, kurasa lidahku semakin kaku karena di sekolah tak ada yang bisa kuajak bicara dengan bahasa itu.  
            “Nanti, Bu,” sahutku sambil pura-pura sibuk dengan buku catatanku. Ibu masih berdiri di ambang pintu, menyilangkan tangannya di dada.
            “Kenapa lagi sekarang?” tanya Ibu setengah bergumam. Aku tak menyahut. Ibu paham kalau suasana hatiku sedang buruk.
            “Kalau hidungmu sudah bolong, makan ya?” suaranya terdengar lembut. Ibu selalu menggunakan istilah-istilah yang aneh. Aku mengangguk. Ibu berlalu. Aku mulai mendengarkan musik dari Ipod. Lagu-lagu Blue Hearts selalu terasa menyenangkan untuk di dengar ketika suasana hati sedang buruk seperti ini.
            “Ta-da!” seraut wajah tengil muncul di ambang pintu, dan dalam sekejap sudah melompat ke sampingku.
            “Dit-chan[4], genki[5]?” tanyanya ketika dilihatnya aku acuh saja atas kedatangannya. Aku hanya menggedikkan bahu, kembali asyik dengan musik yang kudengarkan. Dia nampak keki kuacuhkan begitu, meraih satu earphone-ku, lalu ikut menyanyi dengan suaranya yang somber.
            “owaranai uta o utaou kusottare no sekai no tame
owaranai uta o utaou subete no kuzu tomo no tame ni
owa—“[6]
“Taka-kun![7]” aku memekik kesal, menimpukkan bantal ke wajahnya. Taka terjatuh ke sisi tempat tidur. Aku agak khawatir kalau dia kesakitan, tapi beberapa detik kemudian dia sudah menyeringai di depanku.
“Wajahmu membosankan sekali, Obāsan[8]!” ujarnya sambil menarik pipiku. Aku menjerit sambil kembali menimpuknya, tapi dia berhasil mengelak. Aku ingin dia memanggilku Onē-chan, kakak. Tapi dia tak pernah mau dan malah selalu memanggodaiku dengan panggilan itu. Obāsan. Nenek. Katanya panggilan itu cocok denganku. Sialan. Dasar anak kurang ajar! Anehnya, aku justru merasa senang ia memanggilku begitu.
“Ima, nani?[9] Love syndrome?” tanyanya mulai menunjukkan simpatinya padaku. Aku mengangguk. Taka-kun selalu tahu apa yang sedang terjadi padaku.
“Aku bertengkar lagi dengan Haruki,” curhatku sambil melepaskan earphone dari telingaku. Dia diam saja. Dia tahu bahwa aku akan bercerita tanpa diminta.
“Yumeko-chan. Aku tahu dia tak seperti itu, tapi aku benci melihatnya begitu baik sama cewek lain.”
“Kamu terlalu posesif, Obāsan,” Taka nyeletuk asal.
“Bukan begitu!” sungutku sebal dikatai seperti itu. “Aku tak cemburu. Nggak masalah Haruki berteman dengan siapa saja. Tapi aku hanya ingin Haruki mengerti bagaimana seharusnya dia bersikap dengan cewek-cewek itu ketika ada aku. Itu saja.,” aku berusaha membela diri dengan emosi. Taka menyimak kemarahanku seperti biasa.
Wakatta[10].” Ujarnya kemudian. Dan itu hal yang selalu kuharapkan dari dirinya. Aku hanya butuh teman untuk bicara. Dan Taka-kun selalu ada untuk itu. Aku menghembuskan nafas. Setelah mengungkapkan semua kemarahanku, aku merasa lega. 
Taka berdiri, berjalan ke dekat jendela dan melongok keluar.
“Dita-chan, bagaimana kalau kita sepedaan dan cari ramen?” cetusnya seperti baru mendapat ilham.
Ramen?![11]” akh, aku suka sekali ramen. Tapi aku belum makan di rumah, dan Ibu akan mengomel. Tapi...
Mochiron![12] Ayo!” aku merasa bersemangat, rasa sedihku sudah menguap. Aku bersiap mengganti pakaian sekolahku dan aku melotot ketika Taka masih berdiri di tengah kamarku, tersenyum jahil.
Chikan!”[13] aku mendorong tubuhnya keluar. Aku berganti baju dengan cepat.
“Dita, nggak makan?” Ibu masih mencecarku untuk makan ketika tahu aku akan keluar dengan Taka. Bagi Ibu, penting bagiku untuk makan di rumah.
“Iya, Bu, nanti!’ sahutku sambil berjalan keluar. Taka sempat mengucap beberapa gurauan yang membuat Ibu tertawa. Bagaimanapun, dia sudah seperti bagian keluarga kami.
Ittekimasu![14] ujarnya pamit pada Ibu,  lalu menyusulku keluar.
Kami mulai mengayuh sepeda, menikmati suasana sore musim panas yang terasa menyenangkan. Hilang sudah semua rasa sedih dan marahku. Taka selalu bisa melakukan ini, menghiburku. Dan dia sudah melakukan itu sejak aku berusia 7 tahun. Ketika aku pertama kali datang ke tempat ini. Ibuku orang Indonesia. Ibu bertemu ayahku, Kazuo Matsuyama, di salah satu kampus terkenal di Yogya, ketika ia masih mahasiswa dan ayahku sedang melakukan penelitian. Meski Ibu dan Ayah sering menceritakan tentang detail pertemuan dan munculnya rasa suka di antara mereka, tapi  aku tak akan menceritakannya di sini. Yang jelas, pada akhirnya mereka menikah hingga kemudian lahirlah aku. Ayahku sempat tinggal di Indonesia dan bekerja di sana sebelum kemudian memutuskan kembali ke Jepang, bersama aku dan ibuku tentunya.
Umurku 7 tahun kala itu dan awal-awal di sini terasa sangat berat. Aku sangat kesepian karena tak punya teman. Ini negeri yang sangat asing bagiku. Lalu aku bertemu Taka. Bocah lelaki anak tetangga kami. Aku tengah ngambek karena Ibu memarahiku ketika aku merengek untuk pulang ke Indonesia untuk kesekian kali. Aku terisak-isak dekat rumpun lavender, ketika mendapati sepasang mata jernih menyembul, tengah menatapku takjub. Aku ingin marah, tapi menyadari bahwa mata itu begitu jernihnya, aku justru berhenti menangis. Di sisi lain aku juga merasa malu karena bocah itu lebih kecil dariku. Dia mengulurkan setangkai bunga rumput dan aku merasa terhibur. Taka adalah anak tetangga kami. Sama halnya dengan diriku, ia juga kesepian karena orangtuanya sibuk bekerja. Waktu itu, Bahasa Jepangku buruk sekali sehingga aku dan Taka nyaris tak bisa berkomunikasi. Tapi herannya, kami bisa saling memahami. Dan begitulah hari-hariku menjadi menyenangkan bersama Taka. Taka tidak hanya menjadi sahabat, tapi juga seperti adik kecilku. Sebagai anak tunggal, aku selalu merindukan untuk punya adik. Tapi setelah ibuku terkena kista dan divonis tak bisa lagi punya anak, aku harus merasa puas sebagai anak tunggal. Dan Taka mengisi kekosongan itu.
***
Penghujung Minggu ini, aku mengalami hal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Pertama, aku diterima di Kyoto University, universitas yang ingin sekali kumasuki. Aku beberapa kali diajak ke Kyoto oleh orangtuaku, dan aku selalu merasa senang tinggal di kota itu, entah bagaimana ada bagian dari kota itu yang mengingatkanku pada kota masa kecilku. Hal yang tidak menyenangkan adalah bahwa aku putus dengan Haruki. Haruki diterima kuliah di universitas nomer 1 di negeri ini, Tokyo University. Dan aku melihat Yumeko mencium pipinya. Haruki mengatakan kalau itu cuma ucapan selamat. Tapi aku marah dan meneriakkan kata-kata putus. 
Aku tengah bersimbah airmata di kamar ketika Taka muncul dengan wajah tengilnya. Ketika Ayah dan Ibuku ingin masuk ke kamar dan menghiburku, aku tak mau. Tapi tak ada alasan untuk menghindar dari Taka. Di depannya, aku bisa menangis sepuasnya. Taka mengulurkan tissue dan duduk di sebelahku sementara aku menangis hingga kelelahan. 
            “Aku berharap, ini airmata Dita-chan yang terakhir,” ujarnya, nada suaranya terdengar bersungguh-sungguh. Dan aku tahu, dia memang sedang bersungguh-sungguh karena memanggilku dengan namaku, bukan obaasan seperti biasa. Aku membersit hidung.
            “Sejujurnya, aku merasa senang karena kamu putus dengan Haruki.” Aku mengernyit mendengar ucapannya, kukira dia bercanda, tapi wajahnya masih serius dan diapun meneruskan, “Sejak pacaran dengan Haruki, kamu jadi sering menangis.” Aku tercekat. Taka benar. Aku memang sering menangis selama pacaran dengan Haruki. Haruki adalah sosok populer di sekolah. Dulu, aku merasa begitu bangga dan bahagia bisa pacaran dengan Haruki. Tapi itu hanya sesaat, karena selebihnya hubungan kami nyaris selalu diwarnai pertengkaran. Begitu banyak cewek yang mengagumi Haruki dan itu terasa menyakitkan. Aku tak pernah menyadari hal itu. Dan Taka membuatku memikirkannya. Entah bagaimana, aku mulai berpikir bahwa putusnya hubunganku dengan Haruki bukanlah sesuatu yang terlalu buruk.
            “Aku benci melihat Dita-chan menangis,” gumam Taka beberapa jenak kemudian. Ucapannya, entah bagaimana membuatku merasa terharu dan beberapa detik kemudian suasana jadi terasa rikuh.
            “Wajahmu jelek sekali ketika menangis, Obāsan!” seringai jahil Taka membuyarkan kerikuhan itu. Aku menimpukkan boneka koalaku ke wajahnya.
            “Aku ketakutan dan nyaris lari ketika melihat wajahmu di balik rumpun lavender itu!” ia meledek  kejadian beberapa tahun silam, saat kami pertama kali bertemu.
            “Kamu pikir wajahmu tidak menyeramkan? Matamu melotot seperti hantu!” balasku sambil melemparkan boneka yang lain ke wajahnya.
            “Setidaknya aku selalu bisa membuatmu berhenti menangis,” ujarnya sambil menangkap boneka yang kulemparkan. Aku tertekun. Dia benar.
            Dōshite?[15] Kamu baru sadar kalau aku ternyata sangat keren?” ucapnya mulai narsis. Aku mencibirkan bibir. Tiba-tiba sesuatu terlintas di kepalaku untuk menggodanya.
            “Ya, kamu sangat keren. Tapi kenapa kiranya cowok yang sangat keren ini sampai sekarang belum juga punya  pacar?”Taka menyeringai.
            “Bukan karena tak ada yang mau denganku. Tapi kamu tahu benar bahwa aku tak ingin,” Ujarnya penuh percaya diri.  Dia memang seperti itu. Aku tahu ada beberapa cewek di sekolah yang naksir dia, tapi entah bagaimana dia acuh tak acuh saja.
            “Yuki-chan lumayan manis. Dia juga pintar main biola.” Aku menyebut salah satu cewek yang kutahu naksir dirinya. “Aku akan membantumu melakukan pendekatan kalau kamu merasa malu.” Lanjutku. Taka menggeleng.
            She’s not my type,” Taka berlagak menggunakan Bahasa Inggris dengan logat Jepangnya yang kental. Aku terkekeh.
            “Memang seperti apa type-mu?” cecarku, lebih karena ingin menggodainya. Taka menggedikkan bahu.
            “Kelak, aku akan mengatakannya padamu.” Sahutnya, terdengar bersungguh-sungguh. Aku ingin bertanya lagi, tapi pintu bergeser. Wajah Ayah menyembul, disusul Ibu di belakangnya.
            “Ayah berpikir untuk mengajak kalian makan di luar. Sebaiknya kita pergi sekarang sebelum terlalu malam,” ujar Ayah yang tiba-tiba mengingatkanku bahwa aku merasa lapar. Aku bergegas bangkit dan menyambar jaketku. Malam itu kami menikmati makan malam di sebuah restoran sushi. Ini sekaligus sebagai perayaan diterimanya aku di Universitas Kyoto. Aku melupakan kesedihanku akan Haruki dan menikmati makan malam yang menyenangkan bersama kedua orangtuaku dan Taka.
***
“Ibu, sudah cukup!” pekikku, ketika Ibu masih saja memasukkan berbagai macam barang ke dalam tasku. Besok, aku akan berangkat ke Kyoto, memulai kehidupanku sebagai mahasiswa, tinggal sendiri tanpa Ayah dan Ibu.
“Setidaknya kamu tak perlu membeli apa-apa lagi ketika disana,” ujar Ibu, masih memasukkan beberapa barang yang sudah dibelinya untukku. Aku menyerah. Memilih duduk, mengamati Ibu memasukkan barang-barang itu sementara Ayah menyusunnya agar rapi. Aku tahu kedua orangtuaku sedih karena aku akan pergi. Sejujurnya, aku juga sedih. Tapi membayangkan kehidupan sebagai mahasiswa, aku juga merasa antusias, tak sabar untuk segera pergi. Ayah dan Ibu mulai bertengkar kecil karena susunan barang yang tak rapi. Ibu mengomel dalam Bahasa Indonesia dan Ayah dalam Bahasa Jepang. Pertengkaran kecil yang biasa. Biasanya aku jengkel kalau kedua orangtuaku sudah ribut begitu, tapi kali ini, aku merasa senang mendengarnya. Pertengkaran seperti ini, pasti akan menjadi hal yang kurindukan ketika aku jauh nanti. Tiba-tiba, aku merasa dadaku sesak melihat adegan itu. Sementara kedua orangtuaku masih sibuk saling menyalahkan, aku berjingkat keluar.
Aku berjalan ke halaman samping, ada pijakan kecil di pagar, yang aku dan Taka gunakan sebagai jalan pintas ke rumah. Aku ingin mengucap perpisahan dengan Taka. Sepertinya,beberapa hari ini dia sibuk dengan tim basketnya sehingga agak jarang main ke rumah.  
Aku baru meraba dalam gelap pijakan itu, ketika kudengar suara berdehem. Aku agak kaget, tapi aku hapal suara itu. Taka, duduk di kursi taman, dalam keremangan cahaya lampu. 
“Kamu benar-benar seperti hantu!” dengusku sambil duduk di sebelahnya. Aku berharap dia akan membalas ledekanku seperti biasa, tapi kali ini dia diam saja.
“Kamu tak ingin mengucapkan selamat jalan padaku, heh?” ujarku beberapa saat kemudian.
“Kamu baru akan pergi besok, jadi aku baru akan mengatakan selamat jalan besok,” ujarnya, tanpa ada nada jahil dalam suaranya.
“Oke. Kalau begitu, kita bisa mengobrol saja. Mungkin besok-besok kita tak bisa lagi sering  mengobrol seperti ini.” Ada sedih yang menyelusup ketika aku mengatakan hal itu. Membayangkan bahwa kami akan jarang bertemu.
“Memang ada hal lain yang ingin kukatakan,” Taka menyahut. Aku mengerutkan kening. Nada suaranya benar-benar terdengar aneh. 
Nani[16]?”  cecarku karena dia mengambil jeda.
“Hari itu aku mengatakan padamu bahwa aku akan memberitahumu seperti apa tipe cewek yang kusukai.” Ya, aku ingat itu. Malam usai aku menangis karena putus dengan Haruki.
“Jadi kamu akan memberitahuku sekarang?”  dia mengangguk. Aku mengulum senyum, tak sabar ingin meledekinya.
“Jadi seperti apa? Ayumi Hamasaki, Yu Aoi, Jennifer Lopez...,”
“Dita-chan!” aku mengerutkan kening. “Tipe cewek yang kusukai adalah seperti Dita-chan!” aku tersentak sebelum kemudian terbahak, berpikir bahwa Taka bercanda seperti biasa.
“Dita...aku cinta padamu,” pelan saja suara Taka, tapi mampu membuatku terkesiap karena terkejut. Logat Bahasa Indonesianya terdengar sempurna. Darimana dia belajar kata-kata seperti itu? Aku masih berharap dia bercanda.
Dita-chan wa daisuki desu.[17]” Tegas dan yakin suara Taka.
“Tidak mungkin! Jodan daro[18]?!” sergahku tak percaya. “Taka-kun wa atashi no otouto desu[19].”
Iie.[20] Aku memang lebih muda darimu. Tapi kita tak bersaudara. ”
“Taka-kun!”
“Kamu boleh tak mempercayai ucapanku, tapi kumohon, jangan menganggapku seperti anak kecil lagi.” Taka bangkit dari tempat duduknya.
“Aku hanya ingin mengatakan itu sebelum kamu pergi.” Dia membalikkan badan dan berlalu. Aku termangu, menatapi punggungnya dan sadar bahwa tubuhnya jangkung sekali.
***
Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan ucapan Taka. Cinta? Dia mencintaiku? Bukankah dia adik kecilku?”Jangan menganggapku sebagai anak kecil lagi.” Ucapan itu terngiang di benakku. Dan semakin kupikirkan, aku semakin sadar, dia memang bukan anak kecil lagi. Selama ini di mataku, Taka adalah sosok bocah bermata jernih yang menyembul dari balik rumpun lavender. Seorang bocah polos dan lucu yang membuatku selalu tersenyum. Tapi kemudian aku sadar, dia telah berubah. Seperti yang dikatakannya, dia bukan anak kecil lagi. Dia telah tumbuh. Tiba-tiba aku merasa gelisah.
***
Ayah dan Ibu sudah bangun pagi-pagi dan menyiapkan mobil untuk mengantarku. Ada beberapa hal yang akan Ayah kerjakan terkait pekerjaannya, jadi kami harus pergi pagi-pagi.
            “Cepat bersiap, Dita. Kita akan segera berangkat,” ujar Ibu. Aku masih mengantuk karena baru bisa memejamkan mata menjelang pagi. Aku menyeruput teh hangat yang dibuatkan Ibu ketika di kepalaku terlintas sesuatu.
            “Sebentar ya, Yah, Bu,” aku bergegas keluar, setengah berlari ke halaman samping. Langkahku terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Taka, dengan seragam sekolahnya, sedang berjalan ke arahku.
            “Aku ingin mengucapkan selamat jalan,” ujarnya ketika sudah berada di depanku. Aku diam saja, menatapnya. Dia memang benar-benar bukan anak kecil lagi. Berdiri di depannya, aku bahkan lebih pendek darinya.
            Do shita n dayo?”[21] Taka tampak gusar.
            Taka-kun mo...suki yo!”[22]  ucapku, menyingkirkan seluruh rasa maluku.
            “Eeh?!” Taka membelalakkan matanya karena terkejut. “Honto ni?”[23] aku mengangguk. “Bukan sebagai adik?” cecarnya. Aku mengangguk lagi.
            “Yess!” pekiknya sambil mengepalkan tangan. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Lalu tiba-tiba wajahnya berubah muram.
            “Tapi kamu akan segera pergi.”
            “Aku akan sering-sering pulang.”
            “Aku akan belajar keras supaya tahun depan bisa menyusulmu ke Kyoto.”  Aku tersenyum membayangkan semua itu.
 “Sabishikunaru-wa.”[24]
“Sabishikunaru-yo”[25] Kami bertatapan beberapa saat. Tiba-tiba perpisahan ini terasa berat.
            “Dita!” terdengar panggilan Ibu.
            ‘Aku harus segera pergi. Ikanakucha![26]” tapi Taka menarik tanganku, dengan cepat mendaratkan ciuman di keningku.
            Ki-o-tsukete-ne![27]” ujarnya. Aku mengangguk, balik badan dan berjalan meninggalkannya. Hubungan kami sudah berubah, tapi aku tahu ada satu hal yang tak akan pernah berubah: Taka akan selalu bisa membuatku bahagia dan tersenyum. ***

Catatan:
Cerpen ini dimuat dalam Antologi Cerpen “Japan in Love” yang diterbitkan Diva Press, Yogykarta. 2005


[1] “Saya sudah kembali”UCapan yang digunakan ketika seseorang baru pulang dari bepergian
[2]“Selamat datang” ucapan digunakan untuk orang yang baru pulang ke rumah
[3] Maaf
[4] -chan, kata sandang untuk perempuan. Biasanya untuk anak-anak, orang dewasa ke anak-anak atau mereka yg sebaya
[5] Untuk menanyakan kabar
[6] Lirik lagu Blue Hearts, band punk asal Jepang yang popular tahun ’90-an. Judul lagunya, “Owaranai Uta”
[7] -kun, kata kata sandang untuk laki-laki. Biasanya untuk anak-anak, orang dewasa ke anak-anak atau mereka yg sebaya
[8] Nenek
[9] Sekarang apa?
[10] Mengerti, bentuk past.
[11] Mie khas Jepang
[12] Tentu saja.
[13] Orang yang melakukan pelecehan seksual (cowok)
[14] DIucapkan ketika pamit
[15] Kenapa?
[16] Apa
[17] Sungguh, aku menyukaimu, Dita.
[18] Kamu bercanda?
[19] Taka adalah adik lelakiku
[20] Tidak
[21] Ada apa? (diucapkan oleh cowok)
[22] Aku juga menyukai Taka
[23] Benarkah?
[24] Aku akan merindukanmu (diucapkan oleh cewek)
[25] Aku akan merindukanmu (diucapkan oleh cowok)
[26] Aku harus segera pergi
[27] Jaga diri