“Tadaima![1]”
ucapku sambil melepas sepatu, lalu meletakkannya di dekat pintu.
“Okaeri![2]”
terdengar suara Ibu menyahut, seperti biasa, asyik di depan laptopnya. Ibuku
memang seorang penulis. Aku berjalan bergegas,
“Dita!” Ibu menatapku. Ibu tak pernah suka
kalau aku berjalan di dalam rumah dengan menghentak-hentakkan kaki. Tapi aku
tak mengacuhkan Ibu, meletakkan tas sekolahku dengan kasar di atas meja. Lalu
BRAK! kotak pensilnya terjatuh, menimbulkan suara gaduh ketika membentur lantai
dan isinya berhamburan.
“Nindita Matsuyama!” kali ini Ibu memekik. Aku
mengentikan langkah, mundur. Kalau Ibu sudah memanggilku dengan nama lengkap,
artinya Ibu sungguh-sungguh.
“Gomennasai,”[3]
ujarku sambil memunguti isi kotak pensil lalu memasukkannya kembali ke dalam
tas. Ibu mulai mengomel dalam Bahasa Indonesia, lalu Bahasa Jawa yang tak
kupahami. Itu kebiasaan Ibu ketika mengomel. Hal yang justru membuatku kian merasa
kesal, jadi aku langsung masuk ke kamar. Aku ingin marah dan menangis. Kenapa
tak ada yang memahamiku? Kenapa tak ada yang mengerti kalau saat ini aku sedang
sedih? Sumber semua ini adalah Haruki. Kami bertengkar lagi seperti biasa. Dia
selalu terlalu baik pada semua cewek, termasuk Yumeko yang centil itu. Dan itu
membuatku cemburu.
Ibu muncul di ambang pintu.
“Makanlah dulu, Dita,” Ibu selalu bicara
Bahasa Indonesia denganku. Ibu mengatakan, bahwa aku tak boleh lupa dengan
bahasa itu, jadi aku pun harus selalu menggunakan Bahasa Indonesia ketika
bicara dengan Ibu. Tapi semakin hari, kurasa lidahku semakin kaku karena di
sekolah tak ada yang bisa kuajak bicara dengan bahasa itu.
“Nanti, Bu,” sahutku sambil pura-pura
sibuk dengan buku catatanku. Ibu masih berdiri di ambang pintu, menyilangkan
tangannya di dada.
“Kenapa
lagi sekarang?” tanya Ibu setengah bergumam. Aku tak menyahut. Ibu paham kalau
suasana hatiku sedang buruk.
“Kalau
hidungmu sudah bolong, makan ya?” suaranya terdengar lembut. Ibu selalu
menggunakan istilah-istilah yang aneh. Aku mengangguk. Ibu berlalu. Aku mulai
mendengarkan musik dari Ipod. Lagu-lagu Blue Hearts selalu terasa menyenangkan
untuk di dengar ketika suasana hati sedang buruk seperti ini.
“Ta-da!”
seraut wajah tengil muncul di ambang pintu, dan dalam sekejap sudah melompat ke
sampingku.
“Dit-chan[4],
genki[5]?”
tanyanya ketika dilihatnya aku acuh saja atas kedatangannya. Aku hanya
menggedikkan bahu, kembali asyik dengan musik yang kudengarkan. Dia nampak keki
kuacuhkan begitu, meraih satu earphone-ku, lalu ikut menyanyi dengan
suaranya yang somber.
“owaranai
uta o utaou kusottare no sekai no tame
owaranai uta o utaou subete no kuzu tomo no
tame ni
owa—“[6]
“Taka-kun![7]”
aku memekik kesal, menimpukkan bantal ke wajahnya. Taka terjatuh ke sisi tempat
tidur. Aku agak khawatir kalau dia kesakitan, tapi beberapa detik kemudian dia
sudah menyeringai di depanku.
“Wajahmu membosankan sekali, Obāsan[8]!”
ujarnya sambil menarik pipiku. Aku menjerit sambil kembali menimpuknya, tapi
dia berhasil mengelak. Aku ingin dia memanggilku Onē-chan, kakak. Tapi dia tak pernah
mau dan malah selalu memanggodaiku dengan panggilan itu. Obāsan. Nenek. Katanya
panggilan itu cocok denganku. Sialan. Dasar anak kurang ajar! Anehnya, aku
justru merasa senang ia memanggilku begitu.
“Ima, nani?[9]
Love syndrome?” tanyanya mulai
menunjukkan simpatinya padaku. Aku mengangguk. Taka-kun selalu tahu apa yang
sedang terjadi padaku.
“Aku bertengkar lagi dengan Haruki,” curhatku
sambil melepaskan earphone dari telingaku. Dia diam saja. Dia tahu bahwa
aku akan bercerita tanpa diminta.
“Yumeko-chan. Aku tahu dia tak seperti itu,
tapi aku benci melihatnya begitu baik sama cewek lain.”
“Kamu terlalu posesif, Obāsan,” Taka nyeletuk
asal.
“Bukan begitu!” sungutku sebal dikatai seperti
itu. “Aku tak cemburu. Nggak masalah Haruki berteman dengan siapa saja. Tapi
aku hanya ingin Haruki mengerti bagaimana seharusnya dia bersikap dengan
cewek-cewek itu ketika ada aku. Itu saja.,” aku
berusaha membela diri dengan emosi. Taka menyimak kemarahanku seperti biasa.
“Wakatta[10].”
Ujarnya kemudian. Dan itu hal yang selalu kuharapkan dari dirinya. Aku hanya
butuh teman untuk bicara. Dan Taka-kun selalu ada untuk itu. Aku menghembuskan
nafas. Setelah mengungkapkan semua kemarahanku, aku merasa lega.
Taka berdiri, berjalan ke dekat jendela dan
melongok keluar.
“Dita-chan, bagaimana kalau kita sepedaan dan
cari ramen?” cetusnya seperti baru mendapat ilham.
“Ramen?![11]”
akh, aku suka sekali ramen. Tapi aku belum makan di rumah, dan Ibu akan
mengomel. Tapi...
“Mochiron![12]
Ayo!” aku merasa bersemangat, rasa sedihku sudah menguap. Aku bersiap mengganti
pakaian sekolahku dan aku melotot ketika Taka masih berdiri di tengah kamarku,
tersenyum jahil.
“Chikan!”[13] aku mendorong tubuhnya keluar. Aku berganti
baju dengan cepat.
“Dita, nggak makan?” Ibu masih mencecarku
untuk makan ketika tahu aku akan keluar dengan Taka. Bagi Ibu, penting bagiku
untuk makan di rumah.
“Iya, Bu, nanti!’ sahutku sambil berjalan
keluar. Taka sempat mengucap beberapa gurauan yang membuat Ibu tertawa. Bagaimanapun,
dia sudah seperti bagian keluarga kami.
“Ittekimasu![14]”
ujarnya pamit pada Ibu, lalu menyusulku
keluar.
Kami mulai mengayuh sepeda, menikmati suasana
sore musim panas yang terasa menyenangkan. Hilang sudah semua rasa sedih dan
marahku. Taka selalu bisa melakukan ini, menghiburku. Dan dia sudah melakukan
itu sejak aku berusia 7 tahun. Ketika aku pertama kali datang ke tempat ini.
Ibuku orang Indonesia. Ibu bertemu ayahku, Kazuo Matsuyama, di salah satu
kampus terkenal di Yogya, ketika ia masih mahasiswa dan ayahku sedang melakukan
penelitian. Meski Ibu dan Ayah sering menceritakan tentang detail pertemuan dan
munculnya rasa suka di antara mereka, tapi
aku tak akan menceritakannya di sini. Yang jelas, pada akhirnya mereka
menikah hingga kemudian lahirlah aku. Ayahku sempat tinggal di Indonesia dan
bekerja di sana sebelum kemudian memutuskan kembali ke Jepang, bersama aku dan
ibuku tentunya.
Umurku 7 tahun kala itu dan awal-awal di sini
terasa sangat berat. Aku sangat kesepian karena tak punya teman. Ini negeri
yang sangat asing bagiku. Lalu aku bertemu Taka. Bocah lelaki anak tetangga
kami. Aku tengah ngambek karena Ibu memarahiku ketika aku merengek untuk pulang
ke Indonesia untuk kesekian kali. Aku terisak-isak dekat rumpun lavender,
ketika mendapati sepasang mata jernih menyembul, tengah menatapku takjub. Aku
ingin marah, tapi menyadari bahwa mata itu begitu jernihnya, aku justru
berhenti menangis. Di sisi lain aku juga merasa malu karena bocah itu lebih
kecil dariku. Dia mengulurkan setangkai bunga rumput dan aku merasa terhibur.
Taka adalah anak tetangga kami. Sama halnya dengan diriku, ia juga kesepian
karena orangtuanya sibuk bekerja. Waktu itu, Bahasa Jepangku buruk sekali
sehingga aku dan Taka nyaris tak bisa berkomunikasi. Tapi herannya, kami bisa
saling memahami. Dan begitulah hari-hariku menjadi menyenangkan bersama Taka. Taka
tidak hanya menjadi sahabat, tapi juga seperti adik kecilku. Sebagai anak
tunggal, aku selalu merindukan untuk punya adik. Tapi setelah ibuku terkena
kista dan divonis tak bisa lagi punya anak, aku harus merasa puas sebagai anak
tunggal. Dan Taka mengisi kekosongan itu.
***
Penghujung Minggu ini, aku mengalami hal
menyenangkan dan tidak menyenangkan. Pertama, aku diterima di Kyoto University,
universitas yang ingin sekali kumasuki. Aku beberapa kali diajak ke Kyoto oleh
orangtuaku, dan aku selalu merasa senang tinggal di kota itu, entah bagaimana
ada bagian dari kota itu yang mengingatkanku pada kota masa kecilku. Hal yang
tidak menyenangkan adalah bahwa aku putus dengan Haruki. Haruki diterima kuliah
di universitas nomer 1 di negeri ini, Tokyo University. Dan aku melihat Yumeko
mencium pipinya. Haruki mengatakan kalau itu cuma ucapan selamat. Tapi aku
marah dan meneriakkan kata-kata putus.
Aku tengah bersimbah airmata di kamar ketika
Taka muncul dengan wajah tengilnya. Ketika Ayah dan Ibuku ingin masuk ke kamar
dan menghiburku, aku tak mau. Tapi tak ada alasan untuk menghindar dari Taka.
Di depannya, aku bisa menangis sepuasnya. Taka mengulurkan tissue dan duduk di
sebelahku sementara aku menangis hingga kelelahan.
“Aku
berharap, ini airmata Dita-chan yang terakhir,” ujarnya, nada suaranya
terdengar bersungguh-sungguh. Dan aku tahu, dia memang sedang
bersungguh-sungguh karena memanggilku dengan namaku, bukan obaasan seperti
biasa. Aku membersit hidung.
“Sejujurnya,
aku merasa senang karena kamu putus dengan Haruki.” Aku mengernyit mendengar
ucapannya, kukira dia bercanda, tapi wajahnya masih serius dan diapun
meneruskan, “Sejak pacaran dengan Haruki, kamu jadi sering menangis.” Aku
tercekat. Taka benar. Aku memang sering menangis selama pacaran dengan Haruki.
Haruki adalah sosok populer di sekolah. Dulu, aku merasa begitu bangga dan
bahagia bisa pacaran dengan Haruki. Tapi itu hanya sesaat, karena selebihnya
hubungan kami nyaris selalu diwarnai pertengkaran. Begitu banyak cewek yang
mengagumi Haruki dan itu terasa menyakitkan. Aku tak pernah menyadari hal itu.
Dan Taka membuatku memikirkannya. Entah bagaimana, aku mulai berpikir bahwa
putusnya hubunganku dengan Haruki bukanlah sesuatu yang terlalu buruk.
“Aku
benci melihat Dita-chan menangis,” gumam Taka beberapa jenak kemudian.
Ucapannya, entah bagaimana membuatku merasa terharu dan beberapa detik kemudian
suasana jadi terasa rikuh.
“Wajahmu
jelek sekali ketika menangis, Obāsan!” seringai jahil Taka membuyarkan
kerikuhan itu. Aku menimpukkan boneka koalaku ke wajahnya.
“Aku
ketakutan dan nyaris lari ketika melihat wajahmu di balik rumpun lavender itu!”
ia meledek kejadian beberapa tahun
silam, saat kami pertama kali bertemu.
“Kamu
pikir wajahmu tidak menyeramkan? Matamu melotot seperti hantu!” balasku sambil
melemparkan boneka yang lain ke wajahnya.
“Setidaknya
aku selalu bisa membuatmu berhenti menangis,” ujarnya sambil menangkap boneka
yang kulemparkan. Aku tertekun. Dia benar.
“Dōshite?[15]
Kamu baru sadar kalau aku ternyata sangat keren?” ucapnya mulai narsis. Aku
mencibirkan bibir. Tiba-tiba sesuatu terlintas di kepalaku untuk menggodanya.
“Ya,
kamu sangat keren. Tapi kenapa kiranya cowok yang sangat keren ini sampai sekarang
belum juga punya pacar?”Taka
menyeringai.
“Bukan
karena tak ada yang mau denganku. Tapi kamu tahu benar bahwa aku tak ingin,”
Ujarnya penuh percaya diri. Dia memang
seperti itu. Aku tahu ada beberapa cewek di sekolah yang naksir dia, tapi entah
bagaimana dia acuh tak acuh saja.
“Yuki-chan
lumayan manis. Dia juga pintar main biola.” Aku menyebut salah satu cewek yang
kutahu naksir dirinya. “Aku akan membantumu melakukan pendekatan kalau kamu
merasa malu.” Lanjutku. Taka menggeleng.
“She’s
not my type,” Taka berlagak menggunakan Bahasa Inggris dengan logat Jepangnya
yang kental. Aku terkekeh.
“Memang
seperti apa type-mu?” cecarku, lebih karena ingin menggodainya. Taka
menggedikkan bahu.
“Kelak,
aku akan mengatakannya padamu.” Sahutnya, terdengar bersungguh-sungguh. Aku
ingin bertanya lagi, tapi pintu bergeser. Wajah Ayah menyembul, disusul Ibu di
belakangnya.
“Ayah
berpikir untuk mengajak kalian makan di luar. Sebaiknya kita pergi sekarang
sebelum terlalu malam,” ujar Ayah yang tiba-tiba mengingatkanku bahwa aku
merasa lapar. Aku bergegas bangkit dan menyambar jaketku. Malam itu kami
menikmati makan malam di sebuah restoran sushi. Ini sekaligus sebagai perayaan
diterimanya aku di Universitas Kyoto. Aku melupakan kesedihanku akan Haruki dan
menikmati makan malam yang menyenangkan bersama kedua orangtuaku dan Taka.
***
“Ibu, sudah cukup!” pekikku, ketika Ibu masih saja memasukkan berbagai
macam barang ke dalam tasku. Besok, aku akan berangkat ke Kyoto, memulai
kehidupanku sebagai mahasiswa, tinggal sendiri tanpa Ayah dan Ibu.
“Setidaknya kamu tak perlu membeli apa-apa
lagi ketika disana,” ujar Ibu, masih memasukkan beberapa barang yang sudah
dibelinya untukku. Aku menyerah. Memilih duduk, mengamati Ibu memasukkan
barang-barang itu sementara Ayah menyusunnya agar rapi. Aku tahu kedua
orangtuaku sedih karena aku akan pergi. Sejujurnya, aku juga sedih. Tapi
membayangkan kehidupan sebagai mahasiswa, aku juga merasa antusias, tak sabar
untuk segera pergi. Ayah dan Ibu mulai bertengkar kecil karena susunan barang
yang tak rapi. Ibu mengomel dalam Bahasa Indonesia dan Ayah dalam Bahasa
Jepang. Pertengkaran kecil yang biasa. Biasanya aku jengkel kalau kedua
orangtuaku sudah ribut begitu, tapi kali ini, aku merasa senang mendengarnya.
Pertengkaran seperti ini, pasti akan menjadi hal yang kurindukan ketika aku
jauh nanti. Tiba-tiba, aku merasa dadaku sesak melihat adegan itu. Sementara
kedua orangtuaku masih sibuk saling menyalahkan, aku berjingkat keluar.
Aku berjalan ke halaman samping, ada pijakan
kecil di pagar, yang aku dan Taka gunakan sebagai jalan pintas ke rumah. Aku
ingin mengucap perpisahan dengan Taka. Sepertinya,beberapa hari ini dia sibuk
dengan tim basketnya sehingga agak jarang main ke rumah.
Aku baru meraba dalam gelap pijakan itu,
ketika kudengar suara berdehem. Aku agak kaget, tapi aku hapal suara itu. Taka,
duduk di kursi taman, dalam keremangan cahaya lampu.
“Kamu benar-benar seperti hantu!” dengusku
sambil duduk di sebelahnya. Aku berharap dia akan membalas ledekanku seperti
biasa, tapi kali ini dia diam saja.
“Kamu tak ingin mengucapkan selamat jalan
padaku, heh?” ujarku beberapa saat kemudian.
“Kamu baru akan pergi besok, jadi aku baru
akan mengatakan selamat jalan besok,” ujarnya, tanpa ada nada jahil dalam
suaranya.
“Oke. Kalau begitu, kita bisa mengobrol saja.
Mungkin besok-besok kita tak bisa lagi sering
mengobrol seperti ini.” Ada sedih yang menyelusup ketika aku mengatakan
hal itu. Membayangkan bahwa kami akan jarang bertemu.
“Memang ada hal lain yang ingin kukatakan,”
Taka menyahut. Aku mengerutkan kening. Nada suaranya benar-benar terdengar
aneh.
“Nani[16]?”
cecarku karena dia mengambil jeda.
“Hari itu aku mengatakan padamu bahwa aku akan
memberitahumu seperti apa tipe cewek yang kusukai.” Ya, aku ingat itu. Malam
usai aku menangis karena putus dengan Haruki.
“Jadi kamu akan memberitahuku sekarang?” dia mengangguk. Aku mengulum senyum, tak
sabar ingin meledekinya.
“Jadi seperti apa? Ayumi Hamasaki, Yu Aoi,
Jennifer Lopez...,”
“Dita-chan!” aku mengerutkan kening. “Tipe
cewek yang kusukai adalah seperti Dita-chan!” aku tersentak sebelum kemudian
terbahak, berpikir bahwa Taka bercanda seperti biasa.
“Dita...aku cinta padamu,” pelan saja suara
Taka, tapi mampu membuatku terkesiap karena terkejut. Logat Bahasa Indonesianya
terdengar sempurna. Darimana dia belajar kata-kata seperti itu? Aku masih
berharap dia bercanda.
“Dita-chan wa daisuki desu.[17]”
Tegas dan yakin suara Taka.
“Iie.[20]
Aku memang lebih muda darimu. Tapi kita tak bersaudara. ”
“Taka-kun!”
“Kamu boleh tak mempercayai ucapanku, tapi kumohon,
jangan menganggapku seperti anak kecil lagi.” Taka bangkit dari tempat
duduknya.
“Aku hanya ingin mengatakan itu sebelum kamu
pergi.” Dia membalikkan badan dan berlalu. Aku termangu, menatapi punggungnya
dan sadar bahwa tubuhnya jangkung sekali.
***
Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan ucapan
Taka. Cinta? Dia mencintaiku? Bukankah dia adik kecilku?”Jangan menganggapku
sebagai anak kecil lagi.” Ucapan itu terngiang di benakku. Dan semakin
kupikirkan, aku semakin sadar, dia memang bukan anak kecil lagi. Selama ini di
mataku, Taka adalah sosok bocah bermata jernih yang menyembul dari balik rumpun
lavender. Seorang bocah polos dan lucu yang membuatku selalu tersenyum. Tapi
kemudian aku sadar, dia telah berubah. Seperti yang dikatakannya, dia bukan anak
kecil lagi. Dia telah tumbuh. Tiba-tiba aku merasa gelisah.
***
Ayah dan Ibu sudah bangun pagi-pagi dan
menyiapkan mobil untuk mengantarku. Ada beberapa hal yang akan Ayah kerjakan
terkait pekerjaannya, jadi kami harus pergi pagi-pagi.
“Cepat
bersiap, Dita. Kita akan segera berangkat,” ujar Ibu. Aku masih mengantuk
karena baru bisa memejamkan mata menjelang pagi. Aku menyeruput teh hangat yang
dibuatkan Ibu ketika di kepalaku terlintas sesuatu.
“Sebentar
ya, Yah, Bu,” aku bergegas keluar, setengah berlari ke halaman samping.
Langkahku terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Taka, dengan seragam
sekolahnya, sedang berjalan ke arahku.
“Aku
ingin mengucapkan selamat jalan,” ujarnya ketika sudah berada di depanku. Aku
diam saja, menatapnya. Dia memang benar-benar bukan anak kecil lagi. Berdiri di
depannya, aku bahkan lebih pendek darinya.
“Do
shita n dayo?”[21] Taka tampak gusar.
“Taka-kun
mo...suki yo!”[22] ucapku,
menyingkirkan seluruh rasa maluku.
“Eeh?!”
Taka membelalakkan matanya karena terkejut. “Honto ni?”[23] aku mengangguk. “Bukan sebagai adik?”
cecarnya. Aku mengangguk lagi.
“Yess!”
pekiknya sambil mengepalkan tangan. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Lalu
tiba-tiba wajahnya berubah muram.
“Tapi
kamu akan segera pergi.”
“Aku
akan sering-sering pulang.”
“Aku
akan belajar keras supaya tahun depan bisa menyusulmu ke Kyoto.” Aku tersenyum membayangkan semua itu.
“Sabishikunaru-wa.”[24]
“Sabishikunaru-yo”[25] Kami bertatapan beberapa saat. Tiba-tiba
perpisahan ini terasa berat.
“Dita!”
terdengar panggilan Ibu.
‘Aku
harus segera pergi. Ikanakucha![26]”
tapi Taka menarik tanganku, dengan cepat mendaratkan ciuman di keningku.
“Ki-o-tsukete-ne![27]”
ujarnya. Aku mengangguk, balik badan dan berjalan meninggalkannya. Hubungan kami
sudah berubah, tapi aku tahu ada satu hal yang tak akan pernah berubah: Taka
akan selalu bisa membuatku bahagia dan tersenyum. ***
Catatan:
Cerpen ini dimuat
dalam Antologi Cerpen “Japan in Love” yang diterbitkan Diva Press, Yogykarta.
2005
[1] “Saya sudah kembali”UCapan yang digunakan
ketika seseorang baru pulang dari bepergian
[2]“Selamat datang” ucapan digunakan untuk
orang yang baru pulang ke rumah
[3] Maaf
[4] -chan, kata sandang untuk perempuan.
Biasanya untuk anak-anak, orang dewasa ke anak-anak atau mereka yg sebaya
[5] Untuk menanyakan kabar
[6] Lirik lagu Blue Hearts, band punk asal
Jepang yang popular tahun ’90-an. Judul lagunya, “Owaranai Uta”
[7] -kun, kata kata sandang untuk laki-laki.
Biasanya untuk anak-anak, orang dewasa ke anak-anak atau mereka yg sebaya
[8] Nenek
[9] Sekarang apa?
[10] Mengerti, bentuk past.
[11] Mie khas Jepang
[12] Tentu saja.
[13] Orang yang melakukan pelecehan seksual
(cowok)
[14] DIucapkan ketika pamit
[15] Kenapa?
[16] Apa
[17] Sungguh, aku menyukaimu, Dita.
[18] Kamu bercanda?
[19] Taka adalah adik lelakiku
[20] Tidak
[21] Ada apa? (diucapkan oleh cowok)
[22] Aku juga menyukai Taka
[23] Benarkah?
[24] Aku akan merindukanmu (diucapkan oleh
cewek)
[25] Aku akan merindukanmu (diucapkan oleh
cowok)
[26] Aku harus segera pergi