Friday 8 September 2017

Ibadah Dengan Bermakna

Paman saya dan istrinya naik haji tahun ini. Ketika pulang beberapa bulan yang lalu, saya terkejut ketika diberi kabar itu. Saya dengar orang kalau mau naik haji harus menunggu dulu hingga bertahun-tahun baru bisa berangkat. Eh, kok bisa hanya dalam hitungan bulan daftar sudah mau daftar? Lalu istri paman saya cerita, kalau mereka menggunakan nama orang lain. Dan untuk itu, mereka rela membayar hingga beberapa kali lipat dari biaya haji yang semestinya. Hal yang sepertinya tidak masalah bagi paman saya, yang syukur Alhamdulillah, memang punya cukup rejeki.



Awalnya, saya agak was-was, khawatir jangan-jangan paman saya kejebak calo yang cuma main tipu-tipu. Ingat kan beberapa waktu lalu bagaimana puluhan calon jemaah haji asal Indonesia alih-alih berangkat haji ke Mekkah malah terdampar di Filipina gara-gara mendaftar haji dengan menggunakan identitas palsu. Tapi untunglah, paman saya sepertinya cukup 'beruntung' karena ia dan istrinya kemudian benar-benar berangkat haji. Tapi ya itu, dengan menggunakan identitas orang lain. Bisa dibilang, ini jalur illegal.

Ketidakberuntungan justru menimpa tetangga kami di kampung. Sebut saja namanya Pak Makmur. Sama seperti paman saya, Pak Makmur ini juga dilimpahi banyak rejeki dan sebagai umat Islam yang baik, sepertinya juga ingin melengkapi rukun Islam-nya.  dan karena tak sabar menunggu antrian haji reguler yang lama itu, ia kemudian juga seperti paman saya, mendaftar lewat jalur ilegal. Hanya saja, agennya berbeda. Dan Pak Makmur tak seberuntung paman saya karena entah apa masalahnya, sudah dua tahun berjalan, Pak Makmur gagal naik haji. Dan persoalan 'gagal naik haji' ini kalau di kampung tentu menjadi tidak sepele, karena para tetangga yang nyinyir akan mulai memperbincangkannya. Meski banyak juga sebenarnya yang tak terlalu peduli. Lha untuk makan sehari-hari saja susah, kenapa juga harus meributkan orang yang mau naik haji yang secara umum bisa dibilang sudah selesai dengan urusan perut.

Melihat paman saya, tetangga saya, kasus Filipina, dan saya yakin banyak lagi kasus serupa, saya kemudian berpikir: apa sih sebenarnya makna  haji itu? Apa sebenarnya makna ibadah? Orang-orang seperti paman saya, tetangga saya, dan banyak lagi di luar sana mungkin naik haji karena ingin beribadah. Niatnya bukan saja baik, lebih dari itu, menunaikan rukun Islam. Tapi pertanyaan yang mengusik saya kemudian adalah: bagaimana kemudian makna ibadah itu jika prosesnya sendiri bukan melalui jalan yang baik?

Saya bukan orang yang memiliki banyak pengetahuan tentang agama, karenanya, seringkali hal ini membuat saya melihatnya dengan sinis. Orang-orang seperti mereka tentu merasa bahwa yang mereka lakukan bukanlah sebuah keburukan, karena meski bisa dibilang melanggar hukum, tapi toh tujuannya baik. Tapi benarkah? Soal legal ilegal, saya sendiri tak terlalu mempermasalahkannya. Toh hukum itu buatan manusia, sementara perintah ibadah dari Yang Di Atas datangnya. Tapi bahwa proses itu sendiri telah melibatkan unsur pencaloan, korupsi segala macam, memnurut saya itu hal yang kemudian patut dipertanyakan. Saya tidak yakin bahwa orang-orang yang terlibat dalam proses itu menjalankan praktek itu semata karena ingin menolong orang-orang supaya bisa 'beribadah.' Khawatirnya, mereka hanyalah para calo dalam arti sebenarnya. Menjalankan semua itu berdasar bisnis belaka dan yah, bisa dipahami kemudian kalau tetangga saya atau calon jelamaah yang nyasar di Filipina itu kemudian terkatung-katung. Tampak disana bahwa para calo itu memang tidak sungguh-sungguh ingin menolong orang supaya bisa beribadah, tapi dominan unsur bisnisnya. Saya sendiri ragu bahwa pihak yang berwenang (pemerintah) tak tahu menahu mengenai hal ini. Apalagi sepertinya praktik semacam ini sudah jadi 'rahasia umum' saja. Bukan bermaksud menuduh, tapi bukan tak mungkin kalau orang-orang yang punya kewenangan ini ikut terlibat.  Apalagi urusan haji ini melibatkan proses adminstrasi yang cukup rumit. Karena menggunakan nama orang lain, saudara saya kemudian harus menggunakan dokumen-dokumen yang empunya nama. Pendeknya, pemalsuan dokumen. Dan yah, proses semacam ini kemungkinan besar akan lancar kalau melibatkan orang-orang 'dalam' . Em, tidak gratis tentu saja. Dan bisa dipahami kemudian kalau jumlah biaya ibadahnya kemudian menjadi berlipat-lipat seperti itu, karena sebagian mungkin digunakan untuk melancarkan proses-proses tersebut.

 Tapi saya yakin, bagi para jemaah atau calon jemaah,  praktek-praktek semacam itu bukanlah hal buruk atau sebuah dosa. Sekali lagi, tujuannya kan baik, untuk ibadah.  Yang nanggung dosa seharusnya ya yang jadi calo, yang tipu-tipu. Tapi para calo sendiri mungkin juga punya pembenaran: tujuannya baik kok, 'mempermudah' orang yang mau ibadah.  Tapi kalau dinalar-nalar, kok rasanya proses semacam itu tidak bisa dibilang baik-baik saja ya. Ya kalau prosesnya lancar seperti paman saya itu sih tak terlalu masalah. Kedua belah pihak sama-sama senang. Tapi bagaimana dengan mereka yang kena tipu seperti tetangga saya, Pak Makmur itu, atau rombongan jemaah yang terdampar di Filipina itu? Pihak pertama yang pasti akan dipersalahkan tentulah para agen atau calo yang dengan kurang ajarnya menipu itu. Sementara para jemaah adalah korbannya, dan karenanya tidak bersalah. Tapi benarkah?


Proses ilegal ini itu terjadi karena adanya kedua belah pihak: si agen dan calon jemaah. Dalam kasus seperti paman saya atau tetangga saya, bahwa proses ini ilegal, sebenarnya sudah diketahui sejak awal.  Meski mungkin resiko-resikonya tak terlalu mereka pahami. Tapi pendeknya, mereka secara sadar menerima proses itu. Dan karena adanya orang-orang yang dengan suka rela terlibat dalam proses itu, maka merajalelah praktek semacam itu, termasuk kemudian aksi penipuan di dalamnya. Jadi ya secara tidak langsung, para calon jemaah yang niatnya suci itu, juga berkontribusi dalam praktek tipu-tipu itu. Dan kalau dipikir secara logika sih, seherusnya mereka juga ikut menanggung dosanya. Tapi entahlah. Saya sendiri tak berani menjudge. Urusan dosa dan amalan itu sepenuhnya kewenangan Yang Mahakuasa yang berhak memberinya. Hanya saja, menurut saya, kalau memang tujuannya baik, untuk beribadah pula, tidakkah akan lebih pas jika dijalankan melalui proses-proses yang baik pula? Yah, mungkin dengan begitu ibadahnya jadi akan lebih berkah, benar-benar menjadi sebuah ritual yang suci dan bermakna. Benar memang ibadah haji itu bagian dari rukun Islam yang wajib ditunaikan (bagi yang mampu, dan secara umum dimaknai sebagai mampu secara finansial), tapi saya pikir, pemenuhannya bukan hanya dengan pergi ke Mekkah dan melakukan segala ritualnya semata. Lebih dari itu, menunaikan ibadah haji sebagaiamana ibadah-ibadah lainnya, adalah proses untuk menyucikan hati dan pikiran. 

Jambi. Bulan Haji 2017. 23 Agustus 2017.

Sunday 13 August 2017

Kepergian Chester & Ketidakbahagiaan Kita

Chester...
Chester meninggal dunia. Saya cukup terkejut ketika membaca berita ini di timeline medsos saya. Dan lebih terkejut lagi ketika tahu bahwa kematiannya disebabkan bunuh diri. Duuuh...  😢😢

Saya bukan fans berat Chester ataupun Linkin Park (sering disingkat LP). Tapi sebagai generasi yang melewati masa remaja di era boomingnya lagu-lagu  mereka, saya cukup akrab dengan beberapa lagu mereka yang ngehits seperti Faint, In the End, Crawling... Menurut saya mereka keren, musiknya bagus dan enak didengar. Pada masanya, mereka adalah salah satu band terbaik. Dan di antara anggota Linkin Park, hanya Chester dan Mike Shinoda yang kemudian saya hafal nama dan familiar dengan wajahnya. Kalau Mike,  karena dia satu-satunya keturunan Asia di sana yang membuat saya merasa 'serumpun.' Sementara Chester adalah sang vokalis, dan sebagaimana umumnya vokalis band, seolah selalu didapuk menjadi wajah depan bandnya. Di samping itu, suara Chester memang sangat enak di dengar. Konon pula, Chester yang banyak berkontribusi pada penulisan lagu-lagu Linkin Park
Linkin Park, yang jadi bagian masa remaja saya
Belasan tahun berlalu sejak era kejayaan mereka. Saya sendiri tak terlalu mengikuti perkembangan band ini dan tidak pernah update lagu-lagu terbaru mereka meski saya dengar kalau mereka masih eksis. Dan tetiba, kabar kematian Chester!

Musisi atau pekerja seni meniggal karena bunuh diri, bukanlah hal baru kalau tidak mau dibilang sangat sering malah. Beberapa waktu lalu, ada aktor gaek Robbin Williams juga meninggal karena bunuh diri. Sebelum-sebelumnya, ada aktor Heath Ledger (yang baru berusia 27 tahun dan sedang di puncak karirnya), Ammy Winnehouse, Kurt Cubain... Dan pertanyaan saya selalu sama: kenapa???? Kenapa harus bunuh diri?

Bunuh diri, apapapun caranya, umumnya dilakukan karena si pelaku mengalami depresi akut yang membuat hidupnya menjadi terasa tak tertahankan. Pendeknya, bunuh diri terjadi karena ketidakbahagiaan.  Untuk kasus Chester, saya  membaca bahwa Chester mengalami hal mengerikan di masa lalu. Hal yang sepertinya kemudian menjadi momok gelap dalam hidupnya: orang tua yang bercerai, korban bully dan pelecehan seksual ketika kecil, pribadi minderan dan tidak percaya diri.... Momok gelap itu kemudian membawanya lari ke alkohol dan obat-obatan. Hal yang sepertinya tak pernah benar-benar dilepaskan dari hidupnya. Beberapa hari menjelang kematiannya, sahabat terbaiknya, Chris Cornell, meninggal karena bunuh diri juga. Kesedihan yang mendalam itulah yang mungkin memicu tindakan bunuh diri Chester.

Mengalaminya sendiri pastilah sangat sulit, dan saya tak ingin mengatakan bahwa penderitaan Chester rasanya 'tak seberapa.' Hanya saja, bagi saya pribadi, seringkali tak habis pikir kenapa sih orang-orang  dengan nama 'besar' seperti Chester (dan juga yang lain) merasa begitu tak bahagia? Di mata orang awam seperti saya, rasanya mereka punya 1001 alasan untuk bahagia. Dalam kasus Chester, meski mengalami masalalu yang menyakitkan, tapi toh kemudian dia berhasil membuktikan kepada dunia bahwa dia menjadi 'seseorang' dengan S besar pula. Namanya dikenal di seluruh penjuru dunia, bakat musiknya dipuja-puji, karirnya cemerlang, ia juga sudah menikah dan punya anak. Meski mungkin belakangan popularitasnya semakin menyurut, tapi saya yakin, secara materi ia tak berkekurangan. Saya bahkan membaca kalau beberapa hari sebelum kematiannya, ia menuliskan hal-hal positif di twitter-nya. Dengan semua hal itu, rasanya ia punya banyak alasan untuk bahagia bukan?

Hmm, yah, tapi hidup memang tak sesederhana itu. Setiap orang punya alasan ketidakbahagiaannya sendiri-sendiri. Wang sinawang, kata orang Jawa. Apa yang kita pikir bisa membuat kita bahagia, belum tentu bagi orang lain. Ukuran kebahagiaan orang berbeda-beda. Bisa jadi bahwa seorang yang miskin harta, yang rumahnya gubuk reyot dan untuk makan sehari-hari saja susah, ternyata bisa lebih sering bahagia daripada seorang yang berlimpah harta dan tinggal di rumah mewah. Karenanya, betul kata sebuah kata-kata bijka kalau kebahagiaan itu terletak bukan pada apa yang terjadi atau apa yang kita alami, tapi tentang bagaimana kita memandang tentang apa yang terjadi atau yang kita alami.  Hidup kadang memang sulit dan menyebalkan, tapi mungkin kita bisa menghibur diri, kalau justru itulah yang membuat hidup ini menarik. Kalau hidup lurus-lurus saja, pastilah membosankan. Lagipula, kalau kita tidak pernah merasakan ketidakbahagiaan, bagaimana kita tahu apa artinya kebahagiaan? Ketidakbahagiaan membuat kita jadi lebih menghargai hal-hal yang bisa membuat kita bahagia. So, let's be HAPPY!😄


RIP Chester Bennington | Jambi, 21 Juli 2017