Wednesday 16 December 2009

obituari

matahari sore menyambut kedatangan kami di kantor lapangan. lapangan tanah di depan rumah kayu panggung itu semarak oleh orang-orang yang sedang bermain bola. di pinggir lapangan, seorang bertubuh kecil mengenakan celana pendek dan kaos tanpa lengan antusias memberi menyemangati. priyo, ia memperkenalkan diri beberapa waktu kemudian. seorang guru rimba, lelaki bertubuh kecil dengan senyum ramah dan hangat. saya kemudian teringat, saya pernah melihatnya dalam sebuah acara di stasiun tv. entah bagaimana, kemudian kami terlibat dalam obrolan hangat. mungkin karena kami sama-sama pernah kulihat di kota gudeg yogya. mungkin karena kami sama-sama orang jawa dan merasa senang karena bertemu dengan orang dengan latar belakang budaya yang sama di perantauan.

tidak sulit menjadi akrab dengannya. keramahannya membuat saya merasa nyaman. padahal, saya orang yang agak sulit akrab dengan orang yang baru saya kenal, terutama orang dengan jenis kelamin berbeda. tapi priyo adalah pengecualian.

ketika kembali ke kantor di jambi, bersama teman-teman yang lain kami sering menghabiskan waktu bersama. di kantor lapangan, karena perempuan adalah minoritas, saya merasa sangat terbantu dengan kehadirannya. tak segan ia ke dapur, memasak ini itu dengan cekatan. bahkan sebagai perempuan, saya kadang merasa malu melihat betapa terampil dan cekatannya dia di dapur. sebagai lelaki, dia juga sangat gentle. bahkan lebih gentle dari teman-teman lelaki lain yang bertubuh lebih besar. dia akan dengan sigap membantu teman perempuannya jika sedang dalam kesulitan.

dalam suatu obrolan, saya menceritakan keinginan untuk travelling ke singapura. mendengar hal itu dia langsung antusias untuk turut serta. karena berbagai pertimbangan, kami sepakat akan mewujudkan rencana itu di awal tahun 2010. rencana ini kemudian bertambah lagi, backpacking ke thailand. hayo! tanggapnya penuh semangat. tapi nanti aku laki-laki sendiri? tak apa. sahutku. terus terang, kadang saya lupa bahwa priyo adalah teman yang berbeda jenis kelamin.

dalam rentang waktu sekitar 8 bulan bersahabat dengannya, tentu banyak hal yang tak benar-benar saya tahu tentang dia. kami tak pernah membicarakan hal-hal pribadi dengannya. saya hanya mengenalnya sebagai sosok lelaki bertubuh kecil dengan wajah manis yang membuat orang yang baru mengenalnya jadi sering salah menyangka bahwa dia perempuan. tapi ketika orang tanpa sengaja memanggilnya "mbak" dia akan menyahut dengan senyum. sepertinya, bukan beban baginya orang menganggap dirinya apa. ia agak paranoid dengan gula karena pernah tes gula dan mendapati kadar gulanya tinggi. dia pernah berdiet nasi dan hanya makan kentang rebus. ketika melihat saya memasak dengan bumbu gula, dia akan langsung bereaksi. tapi biasanya saya cuek saja. dia sangat suka makan sehingga diet nasinya tak bertahan lama. perutnya jadi buncit dan kami suka mentertawakannya tapi dia sepertinya tak ambil peduli dengan itu. dia suka minum susu. susu kesukaannya, susu bubuk dancow rasa coklat. dia akan menuangkan air panas mendidih ke dalam susunya. saya pernah mengingatkan, tak baik mencampur susu dengan air mendidih. tapi agaknya ia juga tak terlalu peduli. yang penting enak rasanya, mungkin itu prinsipnya. ia memang suka makan, dan tak segan berbagi dengan teman-temannya.

ia orang yang sangat teliti dalam hal keuangan. mungkin karena latar belakang pendidikan matematikanya. ia punya gagasan-gagasan cemerlang dalam menjalankan pekerjaannya.

hari-hari menjelang kepergiannya, keadaannya spertinya memang kurang sehat. sejak pulang dari lapangan menjelang akhir bulan lalu. tugasnya sebagai koordinator untuk kegiatan studybanding membuatnya tetap harus bekerja. sehari menjelang kepergiannya, saya diberi kabar bahwa dia terserang demam. tapi keesokan harinya dia sudah muncul di kantor lapangan dengan gaya lincahnya yang khas. saya pikir, oh dia sudah sehat. subuh menjelang berangkat, dia mengirimi sms, meminta saya menemuinya di ruang atas. tapi dia menyarankan saya untuk sholat subuh dulu. penting, katanya. saya agak terkejut dengan isi sms itu. apa dia sakit? tapi kenapa harus menyuruh saya sholat dulu dan menambah kata: penting? apa sakitnya demikian parah?

saya ke atas dan mencarinya, tapi ia terlihat masih tidur jadi saya turun ke kamar mandi lalu ke kamar tidur lagi. beberapa menit kemudian dia mengetuk pintu dan menyerahkan tulisan perincian hal2 yang harus saya lakukan jika dia tiba-tiba tak bisa. 'tolong dibaca dulu. nanti kalau tiba2 aku tak bisa.' ujarnya. saya ambil kertas itu dan kembali tiduran sambil membaca-baca tulisannya. sangat terperinci. saya pikir, dia akan memutuskan untuk pulang saja dan istirahat tapi ketika saya keluar kamar, dia sudah sibuk bersiap mengatur ini itu dan kelihatan sangat sehat. jadi saya kemudian kertas catatannya saya simpan. ketika ia tak berselera makan siang, saya berpikir itu hanya efek demamnya. masa penyembuhan, pikir saya. saya mengatakan padanya, untuk cukup makan dan minum vitamin karena saya juga pernah mengalami demam yang sama dan sembuh setelah 3 hari.

keadaannya naik turun selama di perjalanan. jadi kami menyarankan agar ia banyak istirahat. terutama di malam hari. siang dia tetap beraktivitas kesana-kemari. ia mengungkapkan untuk pulang di hari pertama di pekan baru. tapi kami menyarankan ia berobat ke rumah sakit terdekat untuk kemudian istirahat saja, karena perjalanan ke jambi tentu akan melelahkan. dia menurut dan sepanjang hari itu dia istirahat di hotel. ketika saya pulang sorenya, dia terlihat sudah cukup segar. keesokan harinya, saya pikir lebih baik dia istirahat saja, tapi ketika saya keluar kamar dia sudah rapi bersiap.

di hari menjelang kepulangan, saya terkejut melihat wajahnya yang terlihat benar-benar seperti orang sakit. dan ia terlihat lemah sepanjang perjalanan pulang itu. makannya hanya sedikit sekali. kami istirahat semalam di kantor lapangan dan pulang ke jambi keesokan harinya. meski masih terlihat sakit tapi ia sama sekali tak menunjukkan sedang sakit. kami sempat duduk berhenti mengobrol di rumah makan seperti biasa. setengah perjalanan, saya pindah duduk ke sebelahnya. dia menyuruh saya menaikkan jendela mobil. saya bertanya, dingin ya? dia mengiyakan. menarik jaket saya untuk selimut, lalu kepalanya terkulai di pundak saya. saya membiarkannya saja. sore harinya sesampai di jambi, ia minta diantar ke rumah sakit dan harus rawat inap.

saya mengunjunginya keesokan sorenya. terbaring di atas tempat tidur dan divonis malaria. vivac, katanya. oh. hanya malaria, pikir saya. vivac pula. hampir semua teman di warsi mengalaminya dan baik2 saja. jadi saya pikir dia akan baik2 saja. esok harinya lagi saya mendapat bagian jaga. dia mengeluh sepanjang hari. merasa kecapekan. menjelang sore dia minta saya ajak jalan ke koridor. hanya beberapa langkah ketika kemudian dia kembali ke tempat tidur dan merasa sesak nafas. saya memanggil suster yang kemudian memasang tabung oksigen. malamnya, kris mengajak saya menemaninya menjaganya karena dia kurang tidur. saya setuju saja meski awalnya agak keberatan karena merasa lelah dan butuh istirahat. sepanjang malam itu, ia batuk tanpa henti dan berulangkali memanggil suster minta obat untuk menghentikan batuknya. tapi obat sudah diberikan dan dia tetap batuk. dia mengeluh dan berdoa. saya bisa merasakan ketakberdayaannya. paginya, dokter menceritakan hasil rongsen dan mengatakan ada bakteri di paru2nya. tapi tak apa2. katanya. ia pernah menangani kasus serupa. dan nada suaranya memang menyiratkan semuanya akan baik-baik saja.

tapi keesokan harinya, ia masuk icu. saya ingat seorang teman yang berhari2 di icu dan keadaanya sangat kritis dan semua orang nyaris kehilangan harapan. tapi kemudian keajaiban muncul. perlahan, kesehatannya pulih. saya pikir ia juga akan begitu. pada hari ke-2 keadaannya membaik dan saya pikir akan semakin membaik. ternyata di hari ke-3 keadaanya kembali memburuk dan pada jam 10.15 ia pergi untuk selamanya. rasanya sangat tak nyata tapi juga sangat nyata. saya terus berpikir, seandainya ia mendapat fasilitas pengobatan yang lebih canggih dengan dokter-dokter lebih canggih pula, apa ia akan bisa diselamatkan? apa jika ia tidak kelelahan dan mendapat perawatan lebih cepat apa ia akan tetap hidup? apakah, apakah..seandainya, seandainya...semuanya hanya seandainya karena sudah terlanjur terjadi. apakah itu yang dinamakan takdir? apa kita tak bisa mengendalikan takdir? wallahualam. segalanya sudah terjadi. kematian adalah hal misterius dan sangat nyata. ia pasti datang. entah kapan. kita, manusia hanyalah makhluk fana dan rapuh. priyo, ia orang baik. selama sekitar 7 bulan mengenalnya, tak pernah hal buruk kuketahui darinya. dalam rentang usianya yang pendek, kurasa, hidupnya sudah berarti. ia melakukan apa yang bisa ia lakukan, meski ada hal-hal yang tak sempat ia lakukan. jika memang surga itu ada, seharusnya ia berada di sana.
selamat jalan, yo.

Friday 30 October 2009

untitled

langit mendung. udara lembab mengambang. menguarkan kenangan-kenangan yang berkarat. terasa begitu jauh dan tak nyata.

Tuesday 13 October 2009

after 7 years...

Mei. 10. 2009

hari masih pagi. langit tak terlalu cerah. pelabuhan tak terlalu ramai. ini bukan musim orang bepergian. jadi bis yang kutumpangi tak perlu terlalu lama antre masuk feri. penyeberangan merak-bakauheni. untuk ke sekian kali. 7 tahun lalu, juga menyeberangi selat ini dari arah yang berbeda. bakauheni-merak. menjelang sore dan matahari berwarna kekuningan. penuh semangat menuju geladak meski penat oleh perjalanan yang terasa lambat dan membosankan. ada teman seperjalanan yang cukup menyenangkan. febi. sama-sama mengukir harap di seberang lautan, kota gudeg.

kami duduk di geladak, menikmati dua mangkok popmie dan sekaleng fanta stroberi. sementara orang riuh berlalu lalang, febi bercerita tentang kepulangannya beberapa waktu lalu. di atas kapal penyeberangan yang sama, ia merobek-robek surat cinta dari mantan pacarnya. membuangnya ke laut dan meneteskan air mata. aku membayangkan, betapa dramatisnya adegan itu. ia juga bercerita tentang mimpinya. meski ia merasa tak sepenuhnya mampu, ia harus mengambil tes masuk kedokteran karena orangtua dan kakaknya menginginkan itu. jika pun tidak lulus, ia tetap harus kuliah di bidang kesehatan, jadi perawat misalnya. karena orangtua dan kakaknya ingin ia begitu. aku membisu. aku memutuskan untuk ikut tes masuk perguruan tinggi tanpa sepengetahuan orangtuaku.

lalu kami berkenalan dengan dua bule kumal. yang satu, thorwald namanya. pemuda 21 tahun asal jerman, sedang mengisi liburan dengan backpacking ke Indonesia. ia usai dari kerinci tapi gagal mendaki karena sungai penuh meluap dan berniat melanjutkan perjalanan ke jogja. ia baru selesai wamil dan akan masuk universitas usai liburan. jurusan yang diambilnya: guru. aku tertawa mendengarnya. di mataku, cita-cita menjadi guru terlihat sangat konvensional juga mulia. tapi di mata seorang bule, ternyata berbeda. thorwald ingin jadi guru karena itu profesi yang akan menghasilkan banyak uang dan mudah mendapat pekerjaan. ooh..

di atas kapal penyeberangan itu, kami disatukan oleh mimpi-mimpi yang sama.

tujuh tahun telah berlalu. takdir membawaku kembali menyeberangi selat ini. tak banyak yang berbeda. aroma anyir karat yang sama, lengket udara beraroma laut dan keceriaan anak-anak berebut lemparan rupiah. tapi perjalanan kali ini aku merasa sepenuhnya sendiri. tak ada febi, tak ada thorwald. aku duduk sendirian di atas geladak, menatapi gejolak air laut berwarna kehijauan dengan genangan cemaran minyak yang mengambang di atasnya. di kejauhan ada kelabu gedung-gedung pencakar langit, kapal-kapal nelayan dan pulau-pulau kecil yang terserak di sepanjang selat. perjalanan ini terasa lama. sesekali bertegur sapa dengan beberapa orang. di geladak belakang, seorang tukang jamu tanpa lelah riuh mengocehkan khasiat kayu dari pedalaman sunda.

7 tahun begitu cepat. di atas feri, menyeberangi selat ini 7 tahun yang lalu, aku menyeberang bersama impianku. kini, 7 tahun kemudian, kembali kuseberangi selat yang sama dengan impian yang berbeda.

Ita

Sept. 23. 2009
Aku bertemu Ita 7 tahun yang lalu. sama-sama dalam jeda liburan tahun ajaran baru. aku dalam persinggahan di rumah orang tuaku dan dia di rumah kakak perempuannya. Ita bertubuh semampai, hangat, ramah dan cantik. hal yang membuatku kagum sekaligus iri.

pada malam menjelang kepergianku, kami duduk di teras rumah orang tuaku, rumah panggung kayu, dalam remang cahaya lampu minyak. kami mengobrol. sementara cahaya bintang berkerlipan di atas kami dan angin malam menguarkan aroma pembakaran dari ladang-ladang yang baru di buka. kami mengobrol tentang banyak hal, meski aku tak ingat apa saja isi obrolan itu. kami sama-sama sedang menapaki jalan menuju usia dewasa, bersiap menyemai tunas impian dan harapan yang masih segar, seperti tunas-tunas tanaman di pekarangan yang baru disemai nenek dan ibu. impian dan harapanku siap kusemai di seberang lautan, sementara Ita lebih sederhana. ia ingin menyelesaikan sekolah menengahnya yang terpaksa putus karena kerusuhan.

di penghujung obrolan, Ita meminta fotoku untuk kenang-kenangan. aku mengiyakan dengan tak yakin. bagiku, meninggalkan kenangan foto untuk teman perempuan yang baru kukenal sekitar sepekan terasa konyol. tapi malam itu, kupilah-pilah juga foto yang kuanggap terbaik untuk kuberikan padanya.

esoknya, masih begitu pagi ketika bapak mengajakku berangkat. orang-orang masih lelap dibuai mimpi. aku tak sempat mengucap salam perpisahan untuk Ita dan memberikan foto yang dimintanya. tapi, sejujurnya aku tak terlalu sedih. tak ada kesan yang terlalu berarti dalam hari-hari kebersamaan kami. lagipula, kurasa aku terlalu antusias menyongsong mimpi-mimpiku.

tahun-tahun berlalu dan tak banyak yang kuingat tentang Ita. bahkan perlahan aku pun lupa namanya. aku hanya ingat bahwa dia cantik tapi wajahnya kuingat dengan samar.

tujuh tahun berlalu sudah sejak saat itu. pekarangan telah gelap oleh pokok-pokok sawit. kami bertemu lagi. aku dalam jeda libur lebaran di rumah orang tuaku dan dia berlebaran di rumah kakaknya. banyak hal yang berubah, tapi dia tetap semampai, cantik, hangat dan ramah. dia langsung mengucap namaku dan memelukku begitu kami bertemu. lalu ia memperkenalkan bocah perempan kecil cantik berumur sekitar 5 tahun sebagai 'gadisku'. aku berusaha menanggapi keramahannya, merasa sedikit malu. jika tak diingatkan ibuku, aku bahkan tak ingat bahwa namanya Ita.

kudengar ia tak jadi meneruskan sekolahnya dan kemudian menikah dengan lelaki yang bekerja jadi satpam di petrochina. kurasa ia telah meraih mimpi-mimpinya. agaknya mimpi yang berbeda dari yang kami obrolkan pada malam itu. tapi ia terlihat begitu bahagia. aku juga telah meraih salah satu mimpiku di seberang lautan tapi masih terus terengah-engah menggapai mimpi yang lain.

Saturday 10 October 2009

freiburg: menuju openair museum

pemberhentian menuju open air museum. thanks horst.

freiburg: indonesian party2


indonesian party, konyol seperti badut.

frankfurt airport


pertama kali menginjakkan kaki di frankfurt airport.

the teeth



we have same teeth, don't we?

walang kekek


dua ekor walang kekek. kampung naga, tasik malaya

malioboro suatu ketika


serasa di luar negeri, hehehe

ketika kecil

foto waktu masuk sd. ketakutan sama tukang foto, betapa noraknya:)

freiburg: weinfest


beberapa hari di freiburg, michael mengajak kami ke weinfest. festival wine di daerah pinggiran freiburg. awalnya tak terlalu tertarik karena dia yang mengajak. tapi tak ingin terkesan tak menghargai didukung rasa penasaran, kami pun memutuskan pergi: aku, sita, devi, kaka, edo, vera dan michael. sore kami berangkat dengan kereta. mungkin sekitar satu jam perjalanan sebelum kami turun di stasiun kecil nan lengang. festival anggur adalah saat orang-orang mengeluarkan persediaan anggur mereka dan orang-orang boleh mencicipi anggur terbaik dengan harga murah. masih lengang waktu kami datang. orang-orang membuka stan di sepanjang jalan. tenda-tenda kecil dengan tabung-tabung anggur, dan deretan gelas di meja. segelas harganya 2 euro plus gelas 1 euro. dengan gelas di tangan, kita bisa berkeliling, mencicipi anggur yang kita suka. awalnya tak yakin aka mencoba tapi karena yang lain mencoba akhirnya ikut mencoba. segelas anggur putih dingin. ini pertama kalinya mencicipi anggur. terasa membakar di tenggorokan. tapi hangat dan nikmat. kami berkeliling sambil membawa gelas di tangan tanpa tertarik mencoba anggur yang lain. di ujung stan, ada semacam pertunjukan. sirkus atau apalah. segelas anggur sudah tandas. tiba-tiba aku merasa melayang. mabuk? masa segelas anggur bikin mabuk. aku terus mencoba mengontrol kesadaranku. mabuk sungguh memalukan. untung serangan itu cuma sejenak. udara semakin dingin. dan entah bagaimana kami tercerai berai. aku, sita, devi dan kaka. michael yang sedianya jadi guide kami menghilang entah kemana bersama vera dan edo. jengkel, kami memutuskan untuk pulang. di halte, menunggu kereta agak lama. mendapati dua lelaki mabuk tertawa-tawa. sepanjang jalan kepalaku terasa sangat pusing. pulang, aku tertidur. pulas sekali. esok paginya aku terbangun dengan kepala yang masih terasa pusing. tapi satu hal kusesali, kenapa aku tak mencoba lebih banyak anggur kemarin?

albert-ludwig university 1

me and socrates di siang hari bolong, albert-ludwig university, freiburg.

strassbourg, suatu hari


ngebet pengin ke perancis. sedikit iri sama beberapa teman yang sudah ke sana. akhirnya memutuskan untuk pergi. bareng anke dan moritz. devi, m'sita dan aku. minggu pagi. naik mobil merah kap terbuka, diiringi lagu california. langit biru cerah musim panas di atas kami. hamparan hijau ladang gandum. menyeberangi perbatasan yang hanya dipisahkan sebentang sungai dan jembatan. welcome to perancis. perancis? aneh rasanya sudah menginjakkan kaki di negara yang berbeda yang secara topografi nyaris tak berbeda.


di dekat perbatasan, anke ngajak mampir ke supermarket. daging di sini lebih murah. katanya. anggur juga. mari belanja dulu. kami hanya melihat-lihat.


perjalanan diteruskan. jalan lurus, halus mulus nan lengang. hijau di kanan kiri jalan. kastil-kastil coklat di bukit-bukit kejauhan. dan, strassbourg. markas uni eropa. kotanya terlihat tua dan suram dengan trem dan bus berwarna suram. freiburg jauh lebih hidup, ujar kami.


kita akan mengunjungi gedung uni eropa. kata anke. kami berputar-putar di tengah kota. tak juga menemukan si gedung. tanya sana-tanya sini. tetap berputar-putar. lelah, akhirnya anke berujar, kita ke katedral dulu saja. kami berputar mencari tempat parkir. sebuah ruang bawah tanah di tengah-tengah lapangan kota. pengap, panas dan membuat pusing. mungkin ada 3 tingkat dan setiap ruang nyaris sama dengan entah berapa mobil di dalamnya.


kami keluar lewat pintu kecil, dan muncul tepat di sehampat lapangan tempat orang-orang muda duduk-duduk dan mengobrol. aku membayangkan suasana malam yang hangat di sana. sebentar kami mampir di semacam galeri seni yang memajang karya-karya kontemporer anak-anak. sebelum akhirnya sampai ke katedral yang menjulang. megah dan antik. sedang tak ada misa. ruangan yang megah terlihat lengang. patung-patung, ornamen-ornamen, kursi-kursi kayu yang hitam mengkilat. berapa umur bangku-bangku itu? ratusan tahun? berapa generasi manusia telah mendudukinya? sebagian mereka telah mati. dan bangku-bangku itu masih tegak berdiri. abadi.


aku sedikit terkejut membaca tulisan: katedral notre-dame. teringat victor hugo yang menulis si bungkuk dari notre-dame. aku membayangkan si tokoh yang menulis dari atas menara gereja. aku membayangkan hidup pada masa karya itu ditulis.


foto-foto, kami belanja souvenir di depan katedral. piring-piring pajangan, kartu pos...tak ada yang terlalu istimewa. perut lapar dan kami kelayapan mencari tempat makan. kafe-kafe memajang harga menu di pintu depan. tak ada yang kurang dari 7 euro. bukan harga yang murah. kami berjalan di sepanjang pinggir sungai dengan kanal-kanalnya. rumah-rumah kayu penuh bunga warna merah yang bermekaran. strassbourg, terasa santai dan bersahaja. tapi kenapa makanannya kurang bersahaja?


anke mulai ngedumel karena kelaparan. moritz mengeluarkan bekal. 5 potong sandwich yang ia buat sendiri. kami merasa terharu. kami sama sekali tak memikirkan hal seperti itu. tapi sepotong sandwich kurang cukup mengganjal perut kami. lapar masih menggerogoti.


kami memutuskan kembali ke tempat parkir. tapi moritz disorientasi. kami lebih-lebih lagi. anke marah-marah karena panik. itu mobil ayahnya. kalau hilang adalah bencana. moritz mencari dalam diam. kami menunggu dengan deg-degan. sekitar setengah jam, baru ketemu. kita pulang saja ya. ujar anke. kami serempak mengangguk. ya. lain kali saja melihat kantor uni eropa. ya. dan kami pun pulang. badan terasa letih. tapi setidaknya kami telah menginjakkan kaki di perancis. hal yang bisa jadi bahan cerita:)


kembali ke freiburg. sore yang cerah dan terasa indah. sungguh, musim panas terasa sorga. kembali ke flat, mendapati marie dan jochen. kami ke strassbourg. ke katedral notre-dame, tempat victor hugo. marie tertawa. bukan itu katedralnya. notre-dame victor hugo ada di paris. oogh...sedikit malu. tapi strassbourg kota yang menyenangkan, bukan? rileks. hmm. aku jauh lebih suka freiburg, ujarku. freiburg terasa lebih hidup dan berwarna. giliran marie yang mengerutkan kening. oogh..'

pada akhirnya...



pada akhirnya, sampai pada titik ini lagi. ketika kelelahan sampai pada titik kuliminasi. mungkin, ini waktunya untuk berhenti. sungguh melelahkan hidup dalam fantasi. ya, berhenti. harus berhenti. dan memulai lagi.

Tuesday 6 October 2009

capung

capung. 2 tahun di bawah air menjadi larva. lalu sayapnya muncul. bermertamorfosis menjadi capung. hidup di alam terbuka selama 4 minggu. sekitar 300 juta tahun bentuknya tak berubah.

Friday 2 October 2009

anak-anak kejasung 2


bersemangat untuk belajar.

my family


me, my dad and little bro. iedul fitr 2008.

sungai kejasung besar

sungai kejasung besar, taman nasional bukit 12. may be it's kind of heaven :)

sungai kejasung besar

anak-anak kejasung

tersenyum bersama anak-anak kesajung. dari kiri ke kanan : ?, bulang, merenca, nyembah, betenggang, maru, grinting and me

Gempa Sumbar 2009

Lagi. bencana datang. 30 september 2009, sekitar jam 5 sore, gempa 7,5 sr di padang & pariaman. paginya, menjelang jam 9 gempa 7 sr melanda kerinci. bukan awal bulan yang indah. sungguh, kematian adalah misteri. Dia yang maha besar telah berkehendak dan kita begitu kecil.

Wednesday 30 September 2009

untitled

waktu untuk berhenti. waktu untuk memulai.

Monday 28 September 2009

another step...

7 Mei 2009,meninggalkan jogja adalah hal menyakitkan. everythings seemed so perfect there. tapi hidup kadang butuh sesuatu yang tidak selalu sempurna. semuanya terasa nyaman di sana. tapi kenyamanan kadang terlalu melenakan. kenyamanan semacam itu hanya untuk orang tua. and i am too young to feel like that. di dunia yang fana ini, hidup manusia ibarat kilatan petir, tulis seseorang entah siapa yang kulupa namanya. banyak hal yang ingin kulakukan. mencecap setiap kesempatan yang melintas di depan mata. so , let me try another steps...

dan hujan pun turun pagi ini...

mei, 11 2009
hotel kursina

ada denting suara piring. ada derai rintik hujan. bergemerecak ditingkahi deru kendaraan bermotor yang lalu lalang. jalanan menghitam, basah oleh hujan. sepiring nasi goreng, menguarkan aroma bawang yang menyengat. hari pertama di sini. aku merasa sendiri. hujan, begitu riuh, tapi selalu terasa melonkolis. dan aku merasa ingin menangis.

Monday 7 September 2009

Things Of Possibility 1

Sebuah rumah kayu dengan banyak jendela terbuka
dimana angin menebarkan harum aroma dedaunan kering dan menimbulkan suara berderak-derak ketika daunnya bergerak
sebentang halaman rumput yang hijau
dengan pohon-pohon rindang yang menaungi sekelilingnya,
tempat burung-burung terbang rendah
berkicau sembari bercengkerama.
ada bunga-bunga merah muda yang bermekaran dihinggapi kupu-kupu dengan sayap aneka warna
ada segar bau pinus dari hutan kecil di luar pagar kayu
tempat kabut singgah di pagi hari dan embun hinggap sebelum matahari terlalu terik bersinar
di belakang rumah, ada sepetak kebun hijau
tempat menanam bermacam tumbuhan yang bisa dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
dari balkon lantai dua, matahari berwarna lembayung terlihat jelas hingga hilang ditelan cakrawala setiap kali senja menjelang
lalu langit dipenuhi taburan bintang dan redup menawan sinar rembulan.
di pagi hari, matahari baru muncul dari balik bukit di sudut pekarangan.
it's kind of heaven, i thought. where i want to live in!

Sunday 30 August 2009

Menjelajah Sinabung

Setelah sekian lama memendamnya, akhirnya keinginan untuk mendaki gunung itu kesampaian juga. Tidak beruntung bersekolah di sekolah ‘favorit’dengan kegiatan ekstra-kurikuler yang canggih, memaksa kami untuk melakukan banyak hal dengan inisiatif sendiri. Dan itulah yang kami lakukan. Kami berenam—aku, Bertha, Elida, Hotma, Rory dan Tina ditambah seorang teman lagi, Lela. Semuanya cewek. Sebagai umumnya banyak anak sekolah menengah, kami membuat semacam geng. Suka mencoba hal-hal baru, mungkin itu yang menyatukan kami meski sifat dasar kami banyak memiliki perbedaan.

Awalnya, kami merasa begitu sebal setiap kali teman-teman cowok kami bercerita seru sepulang dari naik gunung. Berulang kali kami meminta agar mereka mengajak kami jika suatu saat nanti akan naik gunung lagi. Dan meski mereka selalu mengatakan “iya” tapi kenyataannya mereka sepertinya tidak pernah serius menanggapi permintaan kami. Barangkali, mereka berpikir, membawa para cewek ketika naik gunung hanya akan merepotkan saja di perjalanan. Oke, merasa sebal sekaligus penasaran, akhirnya kami nekat memutuskan untuk naik gunung sendiri. Tokh informasi utama seperti bagaimana jalan ke sana, naik bus apa dan sebagainya sedikit banyak kami kuasai karena beberapa dari kami berasal dari daerah yang tak jauh dari gunung-gunung tersebut. Bertha dan Lela misalnya, berasal dari Kabajahe, kota kecil di dekat Berastagi.
Ada dua gunung yang terkenal di Medan, Sinabung dan Sibayak. Karena bentuknya yang mirip, kedua gunung itu disebut-sebut sebagai gunung kembar meski memiliki ketinggian yang berbeda. Gunung Sibayak setinggi 2212 meter dan Gunung Sinabung 2451 meter. Selain lebih tinggi, Gunung Sinabung juga terkenal dengan medannya yang masih sulit. Terjal dan jalannya masih berupa setapak. Berbeda dengan Sibayak yang lebih landai dan sudah terdapat fasilitas jalan raya sampai mendekati puncak.

Setelah memperhitungkan biaya segala macam, pada suatu akhir pekan kami akhirnya memutuskan untuk berangkat naik gunung. Karena kami merasa tak percaya diri tak mempunyai pengalaman naik gunung sama sekali, kami meminta bantuan seorang teman cowok untuk menemani kami. Karena teman cowok ini juga tak berpengalaman dalam hal naik gunung, ia meminta temannya yang konon memang ‘jago gunung’ untuk menemani kami. Namanya Bangun. Mungkin kedengaran aneh, tapi di tanah Batak, nama-nama semacam itu adalah sesuatu yang lazim. Sepertinya, banyak orang tua yang menamai anaknya sesuai dengan apa yang ia lihat atau apa yang dia alami ketika hamil atau melahirkan. Tak jarang kita mendengar seorang bernama Gunting Sitepu, Jatuh Bangun dan sebagainya.

Kami belum pernah bertemu Bangun sebelumnya, jadi kami agak kaget sewaktu ia datang menemui kami dan mengatakan bahwa ia disuruh teman cowok kami untuk menemani kami. Lalu ia bertanya, kemana kami akan naik, Sibayak atau Sinabung? Meski kami sudah sering mendengar berbagai informasi tentang kedua gunung itu, kami tak tahu mana yang sebaiknya kami daki. Sibayak memang lebih mudah, tapi Sinabung lebih menarik, katanya. Dan akhirnya kami menuruti sarannya.

Peralatan kami begitu alakadarnya: tas ransel kecil berisi beberapa bungkus roti, beberapa botol air mineral, senter dan baju hangat. Hanya itu yang kami bawa. Sama sekali tak terpikirkan untuk membawa tenda dan perlengkapan mendaki lainnya. Sudah kubilang, kami sama sekali tak berpengalaman.

Menjelang senja kami berangkat. Pertama, kami menuju terminal bus yang akan membawa kami ke Berastagi. Sempat terjebak macet di beberapa sudut kota karena seperti di kebanyakan kota, pada akhir pekan jalan raya begitu padat. Orang-orang berkendaraan tumpah ruah seperti laron yang muncul sehabis turun hujan. Heran kadang melihat keriuh-rendahan semacam itu.
Hari sudah gelap saat kami sampai di terminal. Dan…ya ampun, kami benar-benar tak menyangka orang berjubel sebanyak itu berebut bus. Setiap kali bus datang, segera saja orang-orang berlarian menyerbu masuk. Kebanyakan orang-orang muda dengan menggendong ransel besar, mahasiswa atau anak sekolahan seperti kami. Sudah bisa ditebak, mereka akan naik gunung seperti kami atau sekadar berkemah di sekitar Sibolangit—sebuah kawasan hutan di dekat Berastagi. Agaknya, akhir pekan memang selalu menjadi momen yang tepat untuk melepaskan diri dari berbagai kepenatan rutinitas hidup di kota.

Beberapa bus datang dan pergi dan kami belum juga mendapatkan bus karena selalu kalah berebut. Baru setelah beberapa waktu lewat, kami akhirnya mendapat tempat. Meski begitu, kami harus ‘rela’ duduk di atap bus karena memang ruang duduk di dalam sudah penuh. Ini juga pengalaman pertama naik di atap bus. Awalnya merasa ngeri tapi setelah beberapa lama kami justru menikmatinya. Kami bisa menjerit atau tertawa keras-keras setiap kali bus berbelok di jalanan menikung atau memiring tajam di jalan mendaki. Hembusan angin malam yang langsung mengenai wajah kami, meski terasa dingin, tapi juga menghadirkan rasa sejuk yang menyenangkan.

Perjalanan dari Medan ke Berastagi memakan waktu sekira dua jam. Semarak kota Berastagi menyambut kami. Meski terkenal sebagai kota dingin, tapi suasana Berastagi di waktu malam terasa hangat. Terutama di akhir pekan. Kedai-kedai dan toko-toko kecil yang berada di kanan kiri jalan terlihat ramai. Wajar, Berastagi adalah kota wisata. Tak hanya wistawan dome, banyak juga wisatawan asing yang berkunjung ke kota ini. Udaranya yang segar dan pemandangan alam yang indah menjadi daya tarik utamanya. Pada waktu-waktu tertentu, sering diadakan berbagai pertunjukan di panggung terbuka yang berada di tengah-tengah kota. Pesta buah diadakan sekali setahun. Pada kesempatan ini, berbagai kesenian dan makanan tradisional disajikan.
Bangun mengajak kami ke terminal bus yang akan membawa kami ke Lau Kawar, desa di kaki Gunung Sinabung. Ketika kami sampai di terminal kecil yang terletak di dekat pasar, ternyata sudah tidak ada lagi kendaraan. Agaknya kami sudah terlambat. Untunglah, kemudian ada dua orang bapak-bapak membawa pick up yang bersedia mengantar kami, setelah melalui tawar menawar harga tentunya.

Mobil melaju kencang di jalanan yang tak terlalu mulus, melewati kebun-kebun jeruk dan sayuran yang sepi dan gelap. Sesekali nyala terang terlihat dari rumah-rumah penduduk. Begitu kencang mobil itu melaju sampai kami terguncang-guncang dengan kerasnya. Begitu mobil berhenti, telinga terasa budeg dan kulit wajah seakan mati rasa diserbu dingin.

Sudah sekitar jam 10 ketika kami sampai di Lau Kawar. Nama Lau Kawar berasal dari nama danau kecil yang berada tepat di kaki Gunung Sinabung. Airnya berkilauan ditimpa kerlip cahaya lampu. Tenda-tenda putih tersebar di tanah lapang di sekitar danau. Sayup-sayup terdengar denting gitar dan alunan lagu, kadang juga tawa dan suara obrolan. Dingin menyergap. Bangun menghilang sejenak. Di kemudian waktu, kami tahu ia ternyata pergi ke danau. Konon, ada semacam mitos untuk meminum air danau itu ketika datang ke sana. Apa fungsi dan manfaatnya, aku kurang tahu. Lagipula, kupikir aku tak akan melakukannya karena meski terlihat jernih, air danau itu agaknya tak terlalu bersih. Orang-orang tak tahu diri sering membuang sampah di sana. Butir-butir nasi dan jenis sampah lainnya terlihat mengapung di pinggir danau. Sungguh sayang sebenarnya, mengingat keindahan danau itu menurutku juga luar biasa. Pada siang hari, airnya terlihat berwarna kelabu dengan pantulan hijau warna pepohonan yang tumbuh di tepiannya.

Kami beristirahat di sebuah warung kecil tak jauh dari danau. Untuk menghangatkan badan, kami memesan teh hangat dan sebagian memesan mi instan rebus. Aku belum makan sedari siang dan aku merasa lapar, tapi hanya itu pilihan makanan yang ada. Apa boleh buat.
Sekitar jam 12 kami berangkat. Bangun mendongak ke atas dan terlihat puncak gunung menjulang. Cuaca cukup cerah. Di shelter pertama, kami bertemu dengan serombongan pendaki lain yang akhirnya bergabung dengan kami. Mereka mahasiswa USU. Bertemu dengan mereka, memberi keuntungan bagi kami karena satu per satu senter kami mati padahal perjalanan baru dimulai.

Kami terus berjalan, sesekali terdengar celetukan yang mengundang tawa, tapi lebih banyak diliputi hening. Hanya dengus nafas memburu yang terdengar. Jalan yang kami lewati adalah jalan setapak, becek dan berlumpur dililiti akar-akar kayu silang sengkarut yang sesekali memaksa kami berjalan ekstra hati-hati. Ketika sampai di jalanan mendaki, kami mulai merasa kewalahan. Lela yang nekat bercelana pendek dan bersendal jepit terserang kram kaki, Hotma dan Tina mulai kelelahan. Bangun dengan gesit membantu, juga beberapa teman baru kami. Aku juga merasa capek, tapi entah kenapa, aku punya semangat luar biasa yang membisikiku untuk terus berjalan. Aku begitu yakin bahwa aku bisa menyelesaikannya sendiri.

Sesekali kami berhenti, menenggak air mineral atau menikmati makanan kecil yang kami bawa. Deru angin bergemuruh disertai suara berbagai penghuni hutan terdengar lamat-lamat. Juga teriakan-teriakan para pendaki lain, baik yang di atas maupun di bawah kami. Aku menatapi dedaunan yang berkeriap-keriap di atas kami dan merasa bahwa keheningan itu tak terlalu menakutkan.

Menjelang puncak, medan lebih sulit karena berupa cadas yang terjal. Untuk melewatinya, kami harus sering merangkak mencari-cari pegangan. Jika kami terpeleset sedikit saja, di bawah kami, jurang menganga siap menerima kami. Mengerikan sekali!

Kami terus merangkak, mengulurkan tangan untuk saling membantu. Suara gemuruh angin terdengar kian riuh. Cahaya bulan bersinar redup, menelusup di antara gumpalan-gumpalan awan berwarna kelabu. Tanganku sudah terasa perih oleh goresan-goresan dan lecet. Tak ada sarung tangan untuk melindunginya. Di bawah sana, di antara bayangan gelap, terlihat kerlip lampu-lampu. Aku membayangkan, pasti penghuninya tengah lelap dibuai mimpi. Aku membayangkan kamar yang hangat… Aku berpikir, kenapa orang mau bersusah payah melakukan hal sulit semacam ini, termasuk juga diriku? Tapi entah kenapa, aku tak merasa pantas untuk mengeluh, apalagi menyesalinya.

Menjelang subuh kami sampai di puncak. Sulit sekali menggambarkan perasaanku begitu melihat cahaya merah di ufuk barat, matahari yang seakan keluar dari batas langit. Luar biasa! Belum lagi putih awan-awan di bawah kami. Aku teringat sebuah lagu berjudul Negeri di Awan dan aku merasa itulah negeri yang dimaksud lagu itu. Negeri di awan. Ya, kami sedang berada di negeri awan!

Life is Beautiful

Aku berpikir tentang orang-orang yang mati muda. Kemarin lusa, berita sore mengabarkan tewasnya seorang relawan gempa di Kali Opak saat mandi sore. Ia masih sangat muda, kelas 2 SMA. Tidakkah itu kematian yang terlalu cepat? Atau juga relawan Merapi, yang mati terjebak di bunker padahal tinggal selangkah lagi ia menjadi sarjana. Tidakkah ia—menjelang kematiannya—memikirkan perjalanan hidup yang masih ingin dilaluinya?

Gie menulis; yang paling indah adalah tak pernah dilahirkan. Yang indah adalah mati muda. Dan dia juga mati muda. Masih sangat muda malah. Dan banyak orang yang mati muda. Apa itu indah ketika kita masih berpikir untuk melakukan banyak hal esok hari, lusa dan tahun-tahun mendatang tapi kita tak lagi punya kesempatan untuk melakukannya?
Lantas, aku menyadari bahwa setiap detak jantung kita ternyata begitu berharga. Ia adalah harapan. Ia adalah keinginan. Mimpi-mimpi. Dan semuanya begitu indah. Hidup. Meski kadang sakit mendera, luka menyayat, itu hanya bagian kecil saja, yang kadang tak kita sadari, juga sama sangat berharganya seperti ketika kita tertawa dan bahagia.

(10 Juli 2006. Cikeusal Lor. Pagi kekalahan Prancis oleh Italia. Pagi yang riuh oleh cicit burung…)

Laron

Ini tentang laron. Laron-laron kecil yang beterbangan mengerumuni lampu. Jumlahnya luar biasa banyak. Ratusan, bahkan mungkin ribuan. Mereka datang begitu tiba-tiba. Mungkin mereka sedang merayakan keberhasilan mereka menemukan cahaya, usai proses metamorfosis mereka yang panjang di gelapnya lubang tanah.

Cicak-cicak merayap di dinding, siap menjulurkan lidahnya setiap kali laron-laron itu melintas. Dan hap! Makhluk kecil yang tengah berpesta pora itu pun dilahapnya. Kami merasa begitu terganggu dengan kehadiran mereka. Lampu dimatikan, lalu lilin dinyalaka di tengah baskom yang telah diisi air. Laron-laron itu pindah merubungi lilin. Mereka begitu senang oleh silaunya cahaya, dan tak sadar bahwa bahaya menunggu. Satu per satu laron jatuh. Sayap-sayap mungil mereka patah. Lalu mereka menggelepar di dalam air. Begitulah cara laron-laron itu mati. Aku berpikir, sungguh menyedihkan menjadi laron. Melihat terangnya dunia, merayakan metamorfosis mereka, untuk kemudian mati.

(Medio Agustus 2006. Malam di Pondokan)

hari itu ketika hujan

hari itu ketika hujan. kami berjalan beriringan. di tengah derai dan gelegar halilintar. tetes-tetes air tempias, jatuh di wajah kami. basah. kami berhenti. berhenti di bawah papan reklame yang disoroti lampu warna-warni. kami terdiam. menunggu hujan mereda sambil menatapi jalan yang menghitam berkilauan. hujan telah usai. dan kami tetap menatapi jalan dalam diam.

Friday 28 August 2009

Mari Berbagi

mari berbagi cerita. dengan berbagi kita bisa saling melengkapi. dengan berbagi kita bisa lebih saling memahami.