Thursday 25 December 2014

Warna Desember

Desember adalah langit yang kelabu dan hari-hari yang berbasuh hujan,

hari-hari yang kadang terasa panjang dan melenakan
hari-hari ketika kain-kain menumpuk pada tali jemuran, merindukan hangatnya paparan matahari,


Desember adalah warna hijau dari rumput dan dedaunan yang bertumbuh

atau bulir-bulir bening air hujan yang menempel pada kelopak-kelopak bunga yang menguarkan kesegaran bumi

Desember adalah udara yang beraroma semarak oleh libur dan perayaan...

Monday 22 December 2014

Musik Keren: Yuna & Zee Avi

Jujur, saya sering agak underestimate dengan musik dari negeri tetangga kita, Malaysia. Bukan apa-apa, hanya kurang pas saja di telinga. Tahun '90-an banyak band-band mereka yang cukup populer dengan lagu mereka yang mendayu-dayu, seperti  Slam dengan Gerimis Mengundang-nya yang nostalgis itu, Exist dengan Mencari Alasan dan... entah banyak lagi saya lupa :) Tapi itu sudah lama lewat dan hanya sesaat. Tentu saja ada Sheila Majid, Amy Search, Ella, dan belakangan Siti Nurhaliza, yang saya pikir banyak 'menyesuaikan diri' dengan musik tanah air sehingga bisa diterima. Meski begitu, tak ada yang benar-benar membuat saya menjadi 'favorit' hingga belakangan, saya 'menemukan' dua penyanyi ini: Yuna dan Zee Avi. Keduanya sebenarnya memiliki karakter musik yang hampir mirip, pop indi bernuansa akustik, kadang agak nge-jazz dibalut vokal mereka yang 'manis' tapi bagi saya benar-benar enak didengar.

Yuna

Saya tahu Yuna gara-gara merasa 'terganggu' dengan jingle iklan Pariwisatanya Malaysia dengan klaimnya "Malaysia Truly Asia" itu. " ...Sayangku jangan kau persoalkan/Siapa di hatiku/Terukir di bintang
/Tak mungkin hilang cintaku padamu..."
Tadinya, saya kira mereka menggunakan penyanyi Indonesia karena setahu saya, cengkoknya para penyanyi Malaysia nggak seperti itu. Setelah browsing-browsing, akhirnya tahu kalau lagu ini judulnya "Terukir di Bintang" dan dinyanyiin sama penyanyi yang bernama Yuna, asli Malaysia.

Nama aslinya, Yunalis Mat Zara'ai, cewek kelahiran Alor Setar, Kedah, Malaysia 14 November 1986. Konon Yuna sudah mulai menulis lagu sejak usia 14 tahun dan dia mulai karirnya dari situs MySpace sejak tahun 2006 dan dari situ mulai mendapat perhatian besar dari netizen.Tahun 2008, di rilis EP-nya dengan single "Deeper Conversation" yang konon jadi hit.
Yuna dengan jilbab khasnya

Karir bermusik Yuna mulai menanjak ketika dia diajak rekaman sama sebuah label rekaman asal AS,  dan kemudian pada tahun 2011, tandatangan kontrak dengan FADER Label yang bermarkas di New York, dimana kemudiandia rilis debutnya, bertitle "Decorate".

Pada Januari 2012, single-nya "Live Your Life", debut di iTunes dan merupakan single yang diproduseri sama Pharrell Williams. Kemudian pada April 2012, albumnya yang bertitle "Yuna" dirilis, menempati chart no. 23 di Pop Chart, no. 86 di Top 100 Albums di iTunes dan no. 23 di chart Billboard's Heatseekers dan mendapat banyak pujian dari kalangan musik. Dia kemudian juga ngisi soundtracknya "Savage".

Yuna menyebutkan kalau Yuna dalam bermusiknya, ia banyak dipengaruhi sama Coldplay, Bob Dylan dan Feist.

Selain menyanyi dan menulis lagu, Yuna juga bisa bermain gitar dan ukelele. Biasanya dia menulis lagu-lagunya dalam bahasa Inggris dan juga Melayu. Harus diakui, mungkin karena bahasa Inggris merupakan bahasa kedua di Malaysia, agaknya membuat logatnya terasa sempurna. Sementara untuk lagu-lagu Melayu, kebanyakan Yuna menggunakan "melayu" yang tidak terlalu bercengkok malaysia (lebih mirip ke logat Bahasa Indonesia).

Satu yang unik dari Yuna, selain musiknya yang emang keren, mungkin juga gaya berpakaiannya. Meski sudah populer secara internasional (baca: Barat),agaknya dia tetap konsisten mengenakan jilbab dan agaknya kemudian menjadi ciri khas penampilannya.

Diskografi:- Malaysia: 2008: Yuna/ 2010: Decorate/ 2012: Terukir di Bintang
- Internasional: 2011: Decorate/ 2012: Yuna/ 2013: Sixth Street/ 2013: Nocturnal

 (Sumber: Wikipedia)

Track favorit:* Tourist, Terukir di Bintang, Random Awesome, Fading Flowers

* Zee Avi
Dengar Zee Avi secara 'nggak sengaja'. Entah dimana ngopi lagunya, The Book of MorrisJohnson yang terdengar rancak dan enak ditelinga. Tadinya saya kira penyanyi barat yang nyanyiin karena logat Bahasa Inggrisnya terdengar sempurna. Eh, setelah browsing ternyata tahu kalau dia adalah Zee Avi, seorang penyanyi Malaysia.

Zee Avi nama aslinya Izyan Alirahman, kelahiran Miri, Sarawak, Malaysia (15 Desember 1985). Karir musiknya dimulai ketika tahun 2007 dia menguplod video lagunya di YouTube berjudul "Poppy" disusul dengan video yang lain "No Christmast For Me" dan langsung dikunjungi banyak viewers.

Patrick Keeler dari The Raconteurs melihat video ini dan kemudian menunjukkannya ke Ian Montone, manajernya The White Stripes, The Shins, The Raconteurs, M.I.A. dll. Montone kemudian mengirimnya ke Emmett Malloy, dan kemudian mengajaknya rekaman dengan Brushfire Records, studio rekaman yang sebagian dimiliki sama penyanyi Jack Johnson. "No Christmas For Me" kemudian menjadi rekaman pertamanya, yang muncul di album charity Christmas album "This Warm December: A Brushfire Holiday (Vol. 1)"
Zee Avi

Zee kemudian merilis albumnya tahun 2009, dan muncul di televisi AS di acara " Last Call With Carson Daly" membawakan lagu Bitter Heart. Album keduanya rilis tahun 2011, bertitle "Ghostbird" dengan single andalan "The Book of Morris Johnson". Berikutnya, Zee mulai melakukan banyak tur di AS bersama Pete Yorn, menjadi penyanyi opening konsernya Jack Johnson tahun 2010 di Greg Theater, UC Barkeley, dan opening konsernya Ani DiFranco. Dia juga melakukan tur ke beberapa kota besar Asia seperti Tokyo, Seoul, Taipei, Singapura dan Bali.

Dalam bermusiknya, Zee Avie konon banyak dipengaruhi sama band jazz Amrik tahun 20-an,Gershwin dan juga Ella Fitzgerald dan Billie Holliday. Dia juga menyukai musik bernuansa rock seperti The Carpenters,The Cranberries, Velvet Underground dan Led Zappelin dan juga menyukai Cat Power, Regina Spektor, Leonard Cohen, Tom Waits, Jolie Holland, Daniel Johnston dan Chris Garneau.

Hal lain yang khas dari Zee Avi adalah seringnya dia menggunakan instrumen ukelele dalam musiknya. Seperti halnya Yuna, Zee Avi menulis dan menyanyi baik dalam Bahasa Melayu maupun Bahasa Inggris. Kalau Yuna cenderung menggunakan Bahasa Melayu "umum", Zee Avi lebih sering menggunakan bahsa Melayu daerahnya (simak Kantoi, atau Siboh tak Nangis, misalnya).

Diskografi:
Zee Avi: 2009 / Ghostbird: 2011/ Nightlight: 2014

(Sumber: wikipedia.org)

Track favorite:

- Frosty Snowman, Monte, Kantoi, Siboh tak Nangis, First of the Gang to Die, The Book of Morris Johnson, No Christmast for Me, The Story, Bitter Heart

Meski bisa dibilang saya memfavoritkan kedua penyanyi ini, tapi sebenarnya saya kira musisi negeri ini banyak yang nggak kalah keren dari mereka. Hanya saja mungkin masalah kesempatan saja. Semoga :)

Friday 19 December 2014

'Keajaiban' Dalam Menonton Film

Saya seorang penikmat film. Setiap minggu, saya selalu menyempatkan diri untuk menonton. Dan saya mendapati bahwa, bahkan dalam menonton film, kadang kita mengalami hal yang unik dan agak ‘ajaib’. Saya ingat dulu semasa masih mengandalkan film-film dari tempat penyewaan, tanpa sengaja meminjam film yang ceritanya memiliki tema yang hampir sama. Padahal saya nggak baca sinopsisnya lho. Dan hal yang sama, saya alami beberapa hari ini, ketika kebetulan saya nonton film–juga tanpa baca sinposisnya terlebih dahulu, kecuali Love Fiction–dan menemukan bahwa film-film yang saya tonton itu benar-benar memiliki tema yang mirip.

Setelah menonton Love Fiction (Korea Selatan, 2012) yang bertemakan penulis yang mengalami writer’s block dan akhirnya menemukan muse-nya, film berikutnya yang masuk list tonton saya adalah film Korea yang lain berjudul “M” (Korea Selatan, 2007). Saya nonton tanpa baca sinopsisnya dan memutuskan nonton semata karena aktor utamanya adalah salah satu aktor favorit saya, Kang Dong-won. Kang disini berperan sebagai Min-woo dan tebak apa profesinya? Penulis novel yang juga tengah mengalami writer’s  block! Nah…

Setelah nonton M, saya berpikir untuk mencari film berbahasa Inggris karena belakangan saya sudah agak jarang nonton  film berbahasa Inggris. Saya ingat teman saya pernah merekomendasikan film ini, Ruby Sparks (AS, 2012). Meski saya tak ingat tentang apa dan belum pernah membaca sinopsisnya, saya memutuskan menonton. Dan, eng ing eng, ternyata Ruby Sparks juga berkisah tentang kehidupan penulis yang mengalami writer’s  block! Whatta coincidence!

Meski ke-3 film itu punya cerita sendiri-sendiri, tapi temanya benar-benar mirip: penulis muda, laki-laki, yang mengalami writer’s  block dan menemukan muse-nya pada diri seorang perempuan! Meski saya tetap berpikir bahwa hal-hal semacam ini hanyalah sebuah kebetulan semata, tapi kadang saya masih merasa ini adalah hal yang sedikit ajaib :) 

Tuesday 25 November 2014

Musik Keren: J-Musik

1. The Blue Hearts
Sejujurnya, saya baru familiar sama Blue Hearts akhir-akhir ini, setelah nonton film Linda Linda Linda (judul film ini sendiri adalah salah satu judul lagunya Blue Hearts), padahal, Blue Hearts bisa dibilang grup musik yang cukup senior. Sangat senior malah. Bagaimana nggak, The Blue Hearts (ザ・ブルーハーツ,  Za Burū Hātsu?) saja dibentuk pertengahan tahun 80-an.

The Blue Hearts mengusung musik punk rock dan cukup sering mengundang kontroversi dengan menggunakan kata-kata tabu dan konon meludahi kamera tivi yang bikin mereka nggak boleh tampil di tv selama setahun (hihi, namanya juga anak punk :) ).

Meski mendulang sukses, sayangnya band ini nggak berumur panjang. Tahun 1995 mereka bubar. Meski umurnya nggak panjang, tapi agaknya The Blue Hearts benar-benar meninggalkan jejak yang berarti banget di kancah musik Jepang. Nggak heran kalau HMV Japan menobatkan mereka dalam daftar 100 most important Japanese pop acts pada urutan ke-19. Musik mereka keren, khas punk yang kalau dengerin rasanya ingin ikut teriak. Meski begitu, lirik-lirik mereka tetap terasa puitis.

My Fave songs of Blue Hearts:
1. Owaranai Uta
2. Boku no Migite
3. Love Letter
4, Linda Linda
5. Shalala
6. Kiss Shite Hoshi
7. Yori ai waKome te


2. Monkey Majik
Saya dengar Monkey Majik dari soundtrack film Yoru no Pikiniku, Futari, yang langsung mengusik telinga. Penasaran, saya browsing-browsing di internet coba dengerin lagu mereka yang lain. Bagus-bagus ternyata.

Monkey Majik, meski band Jepang tapi dibentuk sama bukan orang Jepang, Maynard Plant yang asal Kanada. Awalnya, Maynard ini kerja di Jepang sebagai asisten guru bahasa Inggris (Assistant Language Teacher/ALT/ JET Prgram) sejak tahun 1997. Lalu tahun 2000, bareng rekannya, Thomas Pritchard, Chad Ivany, dan Misao Urushizaka, bikin Monkey Majik. Nama Monkey Majik sendiri adalah ide dari Tom Pritchard, diambil dari lagu band asal Inggris, Godiego, Monkey Magic.

Sayang, Pritchard dan Ivany nggak lama bertahan. Maynard pun ngajak adiknya, Blaise untuk gabung di band. Misao juga kemudian keluar. Saat ini,selain kakak adik Plant, ada dua anggota lain, Tax di drum dan Dick sebagai bassist.

Meski awalnya cuma sekedar hobi, setelah merilis EP bertitle, TIRED tahun 2001 dan laku di pasaran, mereka mulai serius bermusik dan kemudian makin populer, tentunya.

Yang unik dari Monkey Majik mungkin adalah lagu-lagunya yang yang meski campuran bahasa Jepang dan Inggris seperti kebanyakan lagu-lagu pop Jepang, tapi lirik bahasa Inggrisnya yang lebih banyak lalu dicampur sedikit lirik bahasa Jepang. Musiknya meski bisa dibilang mainstream, tapi mereka punya gaya sendiri yang membedakannya dengan band-band lain. Sentuhan vokalis Maynard yang khas juga menjadi ciri khusus band.

Hal lain yang juga unik dari Monkey Majik ini, konon meski sudah sukses secara komersil, tapi mereka tetap berbasis di Sendai, kota tempat band ini dibentuk, yang lokasinya sekitar 350 km dari Tokyo. Sepertinya mereka nggak tertarik untuk pindah ke Tokyo, seperti kebanyakan band atau musikus yang sudah sukses. Salut lah, meski sudah sukses, kayaknya mereka tetap humble :)

Fave song of Monkey Majik:
1. Futari
2. Sakura
2.Aishiteru
3. Aitakute
4. Don’t You Cry
5. Akari
6. Mitsumoto


3. Aqua Timez
Dengar Aqua Timez pertama kali? Hmm, lupa saya. Sepertinya sih nggak sengaja dunlut di internet dan pas didengerin ternyata unik juga lagunya mereka. Saya coba beberapa lagu lagi, ternyata juga enak. Menurut saya lagu mereka unik. Syairnya panjang-panjang dan cenderung datar (bikin kesel karena susah ngikutin nyanyinya :) ) tapi tetap enak didengar.

Aqua Timez dibentuk tahun 2000. Futoshi (vokal) sama OKP-Star (Ōkēpī-Sutā), bassist,  ketemu di internet dan sadar kalau mereka kuliah di tempat yang sama. Mereka kemudian bikin Aqua Times dan tahun 2003 bikin mini album dan single yang mereka produseri sendiri.

Tahun 2005 mereka ganti nama jadi Aqua Timez dan mereka merilis mini album Sora Ippai ni Kanaderu Inori, yang masuk no #1  Oricon weekly album chart. Tahun 2006, mereka kemudian menandatangani kontrak dengan Sony Music Ent. dan merilis mini album, Nanairo no Rakugaki dimana single pertama mereka, “Ketsui no Asa Ni” dipakai untuk soundtrack film Brave Story. Lagu mereka yang lain, “Sen no Yoru wo Koete” (Passing Over a Thousand Nights), masuk no 5 di Oricon chart. Setelah itu, kepopuleran pun mengikuti mereka.

Favorite:
1. Ketsui no Asa ni
2. Ehagaki no Haru
3. Sen no Yoru wa Koete
4. Chiisana Tenohira
5. Itsumo Issho


4. L'ar-en-Ciel
L’arc-en-Ciel (Laruku), nggak berlebihan kiranya kalau menyebut mereka sebagai the greatest J-rock band ever. Bagaimana tidak? Meski mengusung musik bernuansa japanese rock yang kental, tapi mereka bisa mendunia, bisa disejajarin dengan band-band rock dunia lainnya.

L’arc-en-Ciel (yang dalam Bahasa Perancis berarti ‘Pelangi‘) dibentuk tahun 1991 di Osaka. Awalnya adalah Tetsuya (Tetsu, bassist) yang punya ide bikin band dengan mengajak Hyde (Hide, vocal), Hiro (gitar) dan Pero (drum). Sejak awal, namanya memang sudah L’arc-en-Ciel. Sayang, setahun kemudian, Hiro hengkang dari band (kemudian diganti sama teman kuliah Tetsu di Nagoya Institute of Technology, Ken). Masalah belum selesai karena Pero sang drummer juga kemudian keluar, hingga kemudian diganti sama Sakura.

Tahun 1993, L’arc-en-Ciel rilis album pertama mereka, Dune, di bawah indie label, Danger Crue yang langsung sukses menduduki Oricon indies chart. Kesuksesan itu bikin mereka kemudian dilirik sama major label, Sony’s Ki/oon dan mereka ngeluarin album, Tierra (1994). Album berikutnya, True (1996), sukses banget di pasaran. Dan sesudahnya, L’arc-en-Ciel semakin sukses...

My Favourite songs of Laruku:
1. Anata
2. Hitomi ni Jyunin
3. Ibara no Namida
4. L’heure
5. Jyoushi


5. Spitz
Denger nama Spitz sudah lama… sekali. Waktu itu dapat kiriman surat pendengar dari radio NHK untuk siaran Bahasa Indonesianya dan dikasih semacam song of the month. Pas lagunya Spitz, Robinson. Waktu itu nggak terlalu ngeh karena belum pernah dengar lagunya. Belakangan saya coba browsing di internet dan ketemu lagu-lagu Spitz. Coba didengerin, ufh, ternyata lagunya enak-enak. Sejak itu, saya nobatin Spitz sebagai salah satu band Jepang favorit saya. Lagu Spitz yang pertama mengena, Kimi Ga Omoide ni Naru Mae ni. Sakana liriknya lucu. Lalu Oomiya Sanseto dan J’et aime yang terasa begitu menghanyutkan.

Musik Spitz konon dipengaruhi sama Donovan, british band. Nama Spitz dibuat sama Kusano, sang vokalis,  dari Bahasa Jerman, yang artinya ‘tajam/runcing’. Di samping juga ada anjing ras JapaneseSpitz yang senang menggonggong (cocok untuk citra band) dan pernah populer di tahun 60-70an. Konon Kusano pengin ngasih nama ini untuk bandnya di sekolah menengah, tapi teman-temannya nggak pada setuju. Fans Spitz sendiri disebut, Spitsbergen, kayak nama sebuah pulau di Norway.

Saya nggak tahu bagaimana kepopuleran band ini di Jepang, tapi di Indonesia, sepertinya tak terlalu terkenal. Mungkin karena sudah senior jadi kalah populer sama band-band baru yang terus bermunculan. Whatever, I like Spitz so much! Nggak seperti kebanyakan J-rock yang riuh, musik Spitz cukup jernih di telinga, bisa dibilang ballad, tapi juga nggak mellow dan liriknya juga tak terlalu panjang-panjang (seperti kebanyakan lagu Jepang) tapi tetap indah. Ditambah vokal Kusano yang khas. Semoga mereka terus berkarya.

My Favourite Songs of Spitz:
1. Kimi ga Omoide ni Naru Mae ni (selain musik yang enak, liriknya juga terasa dalem)
2. Sakana (liriknya unik. sakana sendiri artinya: ikan :) )
3. Oomiya Sanseto (nuansa akustik yang kental. menghanyutkan!)
4. J’taime (romantis :) )
5. Robinson (so Spitz…)
6. Koi no Uta (lagu yang terdengar jenaka, seperti orang yang lagi dimabuk cinta)
7. Amai te (intronya keren
)

6. Remioromen

Awalnya ‘terganggu’ dengan ending theme-nya dorama One Litre of Tears yang ditayangin sebuah tivi swasta. Nyari di internet, dan dapatlah nama Remioromen  (レミオロメン). Di dorama itu, Remioromen nyumbang dua lagu: Konayuki dan Sangatsu Kokonoka (March 9). Dua-duanya keren. Nggak ding, tapi keren banget! :) Hingga kadang saya menempatkan sebagai ‘theme songs of my everyday life’ karena nyaris nggak pernah bosan dengerinnya.

Seperti umumnya band Jepang, genre Jpop/Jrock mereka cukup kental. Kadang terlalu riuh atau ‘flat’, kadang ada satu dua lagu yang terlalu mirip.. dan karenanya, jujur, saya nggak bisa menikmati semua lagu Remioromen. Meski begitu, Remioromen masuk dalam my japanese most fave band. Apa yang membuat saya suka? Musiknya, lirik-liriknya…nggak seperti kebanyakan Jrock yang berisik, Remioromen terkesan lebih melodius ditambah vokal Ryota Fujimaki yang agak ‘berat’ tapi jernih.

Remioromen sendiri mulai aktif sejak tahun 2000, dibentuk sama tiga anak muda dari Yamanashi Prefecture: Ryota Fujimaki, Keisuke Maeda dan Osamu Jinguji. Konon nama Remioromen sendiri nggak punya arti khusus, cuma semacam permainan kata. Meski mereka nggak populer-populer banget, tapi mereka tetap eksis dan agaknya mendapat apresiasi yang bagu di negeri asalnya sono.

Kalau di list, ada lagu-lagu Remioromen yang saya suka:
1. Konayuki
2. Sangatsu Kokonoka (March 9)
3. Shinkokyu
4. Natsu no Hi
5. Natsu Mae Coffee
6. Nami
7. Bokura Wa
8. Akenezora
9. Wonderful Beautiful
10. Beer to Purin
11. Ryuusei
12. Umi no Ballad


7. One Ok Rock
Bisa dibilang One Ok Rock adalah generasi mudanya band rock Jepang. Band ini dibentuk tahun 2005. Toru yang waktu itu masih SMA, ngajak kawannya, Ryota, lalu ngajak Alex dan Taka sebagai vokalis. Terakhir adalah Tomoya, si drummer.

One Ok Rock sendiri konon berasal dari kata bahasa Inggris 'one o'clock' yang merupakan jam yang dipakai band untuk berlatih di akhir pekan. Dan karena dalam bahasa Jepang huruf 'l' biasanya dilafalkan 'r' jadilah 'o'clock' dilafalkan 'o'crock' dan kemudian dibuat nama band 'ok rock.'

Meski dibilang masih 'muda', namun lagu-lagu mereka sudah jadi langganan di Oricon Charts, chart-nya lagu-lagu Jepang. Hingga saat ini mereka sudah merilis 5 album.

One Ok Rock bisa dibilang salah satu dari sedikit j-rock band 'muda' saat ini yang meraih sukses, di tengah hebohnya boyband-boyband-an. Tentu saja, ini tak lepas dari kualitas bermusik mereka yang memang bisa diacungi jempol. Ganbare, One Ok Rock! :)

My Favourite:

1. Wherever You Are
2. Etcetera
3. Hitsuzen Maker
4. Answer is Clear

Wednesday 5 November 2014

The Fun of "Ngubek-ubek" Obral Buku

Ketika bepergian ke suatu tempat dan di tempat tersebut ada toko bukunya, saya biasanya selalu menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Mungkin terkesan tidak menarik karena toko buku toh di mana saja hampir sama. Eits, jangan salah. Meski dari segi penampakan nyaris sama saja, tapi tidak demikian dengan koleksi-koleksinya. Incaran saya terutama adalah 'buku obral'nya. Kenapa? Karena seringkali saya menemukan buku-buku lama yang bagus dengan harga yang relatif miring. Buku-buku yang kadang sudah lama dicari-cari tapi tak ketemu-ketemu dan eh, tahu-tahu nyelip di antara tumpukan. Kalau sudah begitu, saya seringkali merasa seolah menemukan harta karun (hiperbolis!) dan tak jarang pula saya jadi kalap. Tak heran jika bepergian dari sebuah tempat seringkali tas saya berat bukan berisi oleh-oleh khas daerah tersebut, tapi malah oleh buku-buku, hihi...
Beberapa buku yang saya peroleh dari hasil ngubek-ubek toko buku di berbagai tempat

Saturday 1 November 2014

Solilokui untuk Jogja

Saya 'resmi' meninggalkan Jogja sejak sekitar lima tahun lalu. Selama lima tahun itu, sebenarnya saya masih cukup sering menjejakkan kaki di Kota Gudeg, tapi rentang waktunya hanya sebentar-sebentar sehingga tak semua tempat di Jogja bisa sempat saya singgahi. Karena biasanya dari bandara, paling saya hanya melewati antara jalan dari bandara, Jl Solo, sekitaran UGM, Malioboro hingga Jokteng. 

Dan saya menyadari, setiap berkunjung ke kota ini, ada hal-hal yang terus berubah. Bangunan-bangunan baru terus bermunculan. Hotel-hotel megah, pusat-pusat perbelanjaan, kafe-kafe cozy dan sophisticated... jalanan yang semakin padat dan semrawut, udara yang makin panas...Puncaknya, kemarin malam, ketika kebetulan saya 'diajak' muter-muter travel yang saya tumpangi untuk menjemput penumpang ke seputaran ring-road, Jl Magelang-Jombor, saya terperangah. Benarkah ini Jogja? Dimulai dari sekitar Monjali, adalah Taman Pelangi yang dihiasi banyak lampion temaram dan food court. Oke, saya pikir ini perkembangan bagus karena selama ini Monjali hanyalah sebuah monumen yang kering. Berikutnya,adalah flyover Jombor yang tampak gagah...dan saya benar-benar ternganga ketika sampai di Jl Magelang: sebuah bangunan megah berdiri menjulang: Jogja City Mall. Apakah saya benar-benar sedang berada di Jogja?

Jogja dari puncak Taman Sari, 2008

Belakangan, saya membaca kalau selain Jogja City Mall, yang konon digadang sebagai pusat perbelanjaan terbesar di Jogja dan Jawa Tengah, akan segera hadir pula 4 pusat perbelanjaan lainnya: Sahid Jogya Lifestyle di Babarsari, Lippo Mall Saphir di Jl Laksda Adisucipto (eks Saphir Square), dan Hartono Lifestyle Mall di Ring Road Utara. Kehadiran mall-mall baru itu akan menambah mall-mall yang sudah ada di Jogja sebelumnya, yakni Galeria Mall, Malioboro Mall dan Ambarukmo Plaza.

Saya tidak terlalu paham apakah semua pembangunan itu berdampak baik atau buruk. Hanya saja, selama ini saya selalu merasa Jogja itu bersahaja, tenang dan cenderung 'ndeso'  dengan slogan "Jogja berhati Nyaman" yang menurut saya (dulu) sangat pas untuk menggambarkan Jogja. Dan melihat semua perubahan itu, saya benar-benar merasa agak syok. Saya tak hendak beromantisem dan meratapi perubahan. Perubahan adalah hal yang mutlak dan tidak selalu buruk (dan saya harap semua perubahan itu memang bukan sesuatu yang buruk). Bahwa Jogja semakin 'maju', 'modern' dan metropolis, meski dengan agak berat hati, saya pikir itu hal yang tak bisa dicegah dan mungkin juga sesuatu yang bagus. Saya melihat dari waktu ke waktu, Jogja semakin ramai dikunjungi wisatawan. Pastilah itu perkembangan yang bagus untuk bisnis pariwisata dan saya turut bangga karenanya.

Pasar Beringharjo tahun 1910. Bagaimana ya rasanya hidup di Jogja pada masa itu? (sumber gambar: tembi.net)

Tapi saya juga tak bisa untuk tak risau ketika membaca berbagai berita tentang pembangunan hotel yang gila-gilaan dan dampaknya terhadap lingkungan. Bayangkan jika konon satu kamar hotel memerlukan 380 liter air (sementara satu rumah tangga hanya sekitar 300 liter air). Sementara jumlah hotel di Jogja pada tahun 2013 adalah 401, dimana 39 hotel berbintang dan sisanya non bintang (sumber: http://regional.kompas.com/, "Sultan HB X Kendalikan Pembangunan Hotel"). Jika satu hotel saja memiliki setidaknya 20 kamar bisa dibayangkan kan kebutuhan airnya? Dan bisa dipastikan siapa yang harus "mengalah" dalam hal ini.  

Belum lagi pembuangan limbah dan kebutuhan lahan parkir.Bukan apa-apa, Jogja itu kota kecil secara luasan. Bahkan seluruh provinsi Jogja bisa dikitari dalam waktu satu hari. Tanpa bangunan-bangunan baru itu saja selama ini Jogja sudah padat dengan penduduknya. Dengan adanya bangunan-bangunan baru itu, tentu saja Jogja akan semakin berdesakan, 'uyel-uyelan', ruang hijau yang makin terbatas dan mungkin di ujung-ujung adalah ketergusuran. Bisa ditebak kan siapa yang bakal tergusur dalam kasus seperti ini? Hmm, mudah-mudahan saja tidak sampai seperti itu. Saya selalu positive thinking bahwa Jogja dihuni oleh orang-orang cerdas dan kreatif  (termasuk para pejabat daerahnya) yang tak akan membiarkan kotanya berubah menjadi kota yang 'menyedihkan' dan "Tak Berhati Nyaman". Semoga saja begitu...

(selepas dari Jogja, 29 Oktober 2014)

Friday 31 October 2014

Cerita Tentang Bulan Oktober


Awalnya, saya membenci bulan Oktober. Sama-sama musim kemarau, tak seperti bulan Agustus atau September yang kering tapi sejuk, Oktober adalah bulan yang udaranya terasa tidak nyaman. Oktober adalah ketika musim kemarau sudah sampai pada puncaknya. Kering yang lengas dan membuat badan seolah selalu 'berkuah' oleh keringat. Saya melewati musim kemarau kali ini di sebuah daerah yang selalu terkenal dengan udaranya yang sejuk, namun seolah hal itu tak berarti pada bulan Oktober. Siang terasa terik dan malam-malam terasa gerah. Pada udara yang panas, otak juga terasa berkabut sehingga sulit untuk berpikir jernih. Saya tak henti-hentinya menggerutui Oktober dan berharap musim hujan segera turun.
Tabebuia yang bermekaran

Namun, ketika saya berjalan-jalan keluar, saya menemukan hal-hal menarik yang membuat saya berpikir bahwa bulan Oktober sama sekali tak buruk. Meskipun kering dan panas, herannya banyak bunga-bunga justru bermekaran pada bulan ini. Tabebuia yang biasa di tanam di pinggir-pinggir jalan itu, dengan penuh percaya diri bermekaran dengan kelopaknya yang kuning terang; bougenvil merah yang seolah menyala; morning glory liar ungu muda yang berseri-seri sepanjang pagi; tithonia, si bunga matahari liar yang mekar dengan acuh tak acuh meski keindahannya seringkali diabaikan orang...
Putik-putik mungil bunga angsana

 Dan, ah, semerbak dari bunga-bunga pohon pinggir jalan: angasana, mahoni...aromanya begitu sendu dan manis...
Tithonia, si bunga matahari liar

Oktober

Oktober adalah ketika angin mengembuskan udara yang beraroma kerontang,
angin yang kadang berderak-derak, mengentak dan mencabik dedaunan,
angin yang menghamburkan serpih-serpih debu yang membuat matamu perih,
angin yang membuatmu menggerutu karena terus-menerus mengempaskan helai-helai kain di tali jemuran.

Oktober adalah ketika udara lengas menguar di sekelilingmu, menyusupkan gerah dan kuyup di sekujur tubuhmu
Oktober adalah ketika sekelilingmu berwarna usang oleh rumput pucat kecoklatan atau daun-daun kering yang berserakan.
Oktober adalah siang dahaga yang mendamba hujan,
atau sore bergelayut awan dan mendadak angin dengan semena-mena menyeretnya pergi.
Oktober adalah pagi yang beraroma wangi-sendu dari putik-putik mungil bunga angsana,

Oktober adalah ketika bunga-bunga liar berkelopak ungu; tabebuia, tithonia atau bougenvil merah tak pernah menyerah untuk bermekaran...


(Malam yang gerah pada penghujung Oktober 2014)

Monday 20 October 2014

Fana

...pada dasarnya, manusia berbagi kefanaan yang sama di atas semesta ini...

Thursday 16 October 2014

Bougenvil Merah


Belajarlah pada bougenvil merah, yang tak pernah menyerah untuk terus berbunga meski dipapar garangnya matahari Oktober  *tentang bougenvil merah di depan rumah*

Wednesday 1 October 2014

Emily Bronte

Emily Bronte, penulis "Wuthering Heights" sebuah aungkapan dari sudut gelap hati manusia yang dirangkai menjadi cerita yang "indah".  Itu adalah satu-satunya novel yang ditulis Emily selama hidupnya yang pendek. Dan dia abadi.

Friday 26 September 2014

Ototo wa Koibito



 Tadaima![1]” ucapku sambil melepas sepatu, lalu meletakkannya di dekat pintu.
            Okaeri![2]” terdengar suara Ibu menyahut, seperti biasa, asyik di depan laptopnya. Ibuku memang seorang penulis. Aku berjalan bergegas,         
“Dita!” Ibu menatapku. Ibu tak pernah suka kalau aku berjalan di dalam rumah dengan menghentak-hentakkan kaki. Tapi aku tak mengacuhkan Ibu, meletakkan tas sekolahku dengan kasar di atas meja. Lalu BRAK! kotak pensilnya terjatuh, menimbulkan suara gaduh ketika membentur lantai dan isinya berhamburan.
“Nindita Matsuyama!” kali ini Ibu memekik. Aku mengentikan langkah, mundur. Kalau Ibu sudah memanggilku dengan nama lengkap, artinya Ibu sungguh-sungguh.
Gomennasai,”[3] ujarku sambil memunguti isi kotak pensil lalu memasukkannya kembali ke dalam tas. Ibu mulai mengomel dalam Bahasa Indonesia, lalu Bahasa Jawa yang tak kupahami. Itu kebiasaan Ibu ketika mengomel. Hal yang justru membuatku kian merasa kesal, jadi aku langsung masuk ke kamar. Aku ingin marah dan menangis. Kenapa tak ada yang memahamiku? Kenapa tak ada yang mengerti kalau saat ini aku sedang sedih? Sumber semua ini adalah Haruki. Kami bertengkar lagi seperti biasa. Dia selalu terlalu baik pada semua cewek, termasuk Yumeko yang centil itu. Dan itu membuatku cemburu.
Ibu muncul di ambang pintu.
“Makanlah dulu, Dita,” Ibu selalu bicara Bahasa Indonesia denganku. Ibu mengatakan, bahwa aku tak boleh lupa dengan bahasa itu, jadi aku pun harus selalu menggunakan Bahasa Indonesia ketika bicara dengan Ibu. Tapi semakin hari, kurasa lidahku semakin kaku karena di sekolah tak ada yang bisa kuajak bicara dengan bahasa itu.  
            “Nanti, Bu,” sahutku sambil pura-pura sibuk dengan buku catatanku. Ibu masih berdiri di ambang pintu, menyilangkan tangannya di dada.
            “Kenapa lagi sekarang?” tanya Ibu setengah bergumam. Aku tak menyahut. Ibu paham kalau suasana hatiku sedang buruk.
            “Kalau hidungmu sudah bolong, makan ya?” suaranya terdengar lembut. Ibu selalu menggunakan istilah-istilah yang aneh. Aku mengangguk. Ibu berlalu. Aku mulai mendengarkan musik dari Ipod. Lagu-lagu Blue Hearts selalu terasa menyenangkan untuk di dengar ketika suasana hati sedang buruk seperti ini.
            “Ta-da!” seraut wajah tengil muncul di ambang pintu, dan dalam sekejap sudah melompat ke sampingku.
            “Dit-chan[4], genki[5]?” tanyanya ketika dilihatnya aku acuh saja atas kedatangannya. Aku hanya menggedikkan bahu, kembali asyik dengan musik yang kudengarkan. Dia nampak keki kuacuhkan begitu, meraih satu earphone-ku, lalu ikut menyanyi dengan suaranya yang somber.
            “owaranai uta o utaou kusottare no sekai no tame
owaranai uta o utaou subete no kuzu tomo no tame ni
owa—“[6]
“Taka-kun![7]” aku memekik kesal, menimpukkan bantal ke wajahnya. Taka terjatuh ke sisi tempat tidur. Aku agak khawatir kalau dia kesakitan, tapi beberapa detik kemudian dia sudah menyeringai di depanku.
“Wajahmu membosankan sekali, Obāsan[8]!” ujarnya sambil menarik pipiku. Aku menjerit sambil kembali menimpuknya, tapi dia berhasil mengelak. Aku ingin dia memanggilku Onē-chan, kakak. Tapi dia tak pernah mau dan malah selalu memanggodaiku dengan panggilan itu. Obāsan. Nenek. Katanya panggilan itu cocok denganku. Sialan. Dasar anak kurang ajar! Anehnya, aku justru merasa senang ia memanggilku begitu.
“Ima, nani?[9] Love syndrome?” tanyanya mulai menunjukkan simpatinya padaku. Aku mengangguk. Taka-kun selalu tahu apa yang sedang terjadi padaku.
“Aku bertengkar lagi dengan Haruki,” curhatku sambil melepaskan earphone dari telingaku. Dia diam saja. Dia tahu bahwa aku akan bercerita tanpa diminta.
“Yumeko-chan. Aku tahu dia tak seperti itu, tapi aku benci melihatnya begitu baik sama cewek lain.”
“Kamu terlalu posesif, Obāsan,” Taka nyeletuk asal.
“Bukan begitu!” sungutku sebal dikatai seperti itu. “Aku tak cemburu. Nggak masalah Haruki berteman dengan siapa saja. Tapi aku hanya ingin Haruki mengerti bagaimana seharusnya dia bersikap dengan cewek-cewek itu ketika ada aku. Itu saja.,” aku berusaha membela diri dengan emosi. Taka menyimak kemarahanku seperti biasa.
Wakatta[10].” Ujarnya kemudian. Dan itu hal yang selalu kuharapkan dari dirinya. Aku hanya butuh teman untuk bicara. Dan Taka-kun selalu ada untuk itu. Aku menghembuskan nafas. Setelah mengungkapkan semua kemarahanku, aku merasa lega. 
Taka berdiri, berjalan ke dekat jendela dan melongok keluar.
“Dita-chan, bagaimana kalau kita sepedaan dan cari ramen?” cetusnya seperti baru mendapat ilham.
Ramen?![11]” akh, aku suka sekali ramen. Tapi aku belum makan di rumah, dan Ibu akan mengomel. Tapi...
Mochiron![12] Ayo!” aku merasa bersemangat, rasa sedihku sudah menguap. Aku bersiap mengganti pakaian sekolahku dan aku melotot ketika Taka masih berdiri di tengah kamarku, tersenyum jahil.
Chikan!”[13] aku mendorong tubuhnya keluar. Aku berganti baju dengan cepat.
“Dita, nggak makan?” Ibu masih mencecarku untuk makan ketika tahu aku akan keluar dengan Taka. Bagi Ibu, penting bagiku untuk makan di rumah.
“Iya, Bu, nanti!’ sahutku sambil berjalan keluar. Taka sempat mengucap beberapa gurauan yang membuat Ibu tertawa. Bagaimanapun, dia sudah seperti bagian keluarga kami.
Ittekimasu![14] ujarnya pamit pada Ibu,  lalu menyusulku keluar.
Kami mulai mengayuh sepeda, menikmati suasana sore musim panas yang terasa menyenangkan. Hilang sudah semua rasa sedih dan marahku. Taka selalu bisa melakukan ini, menghiburku. Dan dia sudah melakukan itu sejak aku berusia 7 tahun. Ketika aku pertama kali datang ke tempat ini. Ibuku orang Indonesia. Ibu bertemu ayahku, Kazuo Matsuyama, di salah satu kampus terkenal di Yogya, ketika ia masih mahasiswa dan ayahku sedang melakukan penelitian. Meski Ibu dan Ayah sering menceritakan tentang detail pertemuan dan munculnya rasa suka di antara mereka, tapi  aku tak akan menceritakannya di sini. Yang jelas, pada akhirnya mereka menikah hingga kemudian lahirlah aku. Ayahku sempat tinggal di Indonesia dan bekerja di sana sebelum kemudian memutuskan kembali ke Jepang, bersama aku dan ibuku tentunya.
Umurku 7 tahun kala itu dan awal-awal di sini terasa sangat berat. Aku sangat kesepian karena tak punya teman. Ini negeri yang sangat asing bagiku. Lalu aku bertemu Taka. Bocah lelaki anak tetangga kami. Aku tengah ngambek karena Ibu memarahiku ketika aku merengek untuk pulang ke Indonesia untuk kesekian kali. Aku terisak-isak dekat rumpun lavender, ketika mendapati sepasang mata jernih menyembul, tengah menatapku takjub. Aku ingin marah, tapi menyadari bahwa mata itu begitu jernihnya, aku justru berhenti menangis. Di sisi lain aku juga merasa malu karena bocah itu lebih kecil dariku. Dia mengulurkan setangkai bunga rumput dan aku merasa terhibur. Taka adalah anak tetangga kami. Sama halnya dengan diriku, ia juga kesepian karena orangtuanya sibuk bekerja. Waktu itu, Bahasa Jepangku buruk sekali sehingga aku dan Taka nyaris tak bisa berkomunikasi. Tapi herannya, kami bisa saling memahami. Dan begitulah hari-hariku menjadi menyenangkan bersama Taka. Taka tidak hanya menjadi sahabat, tapi juga seperti adik kecilku. Sebagai anak tunggal, aku selalu merindukan untuk punya adik. Tapi setelah ibuku terkena kista dan divonis tak bisa lagi punya anak, aku harus merasa puas sebagai anak tunggal. Dan Taka mengisi kekosongan itu.
***
Penghujung Minggu ini, aku mengalami hal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Pertama, aku diterima di Kyoto University, universitas yang ingin sekali kumasuki. Aku beberapa kali diajak ke Kyoto oleh orangtuaku, dan aku selalu merasa senang tinggal di kota itu, entah bagaimana ada bagian dari kota itu yang mengingatkanku pada kota masa kecilku. Hal yang tidak menyenangkan adalah bahwa aku putus dengan Haruki. Haruki diterima kuliah di universitas nomer 1 di negeri ini, Tokyo University. Dan aku melihat Yumeko mencium pipinya. Haruki mengatakan kalau itu cuma ucapan selamat. Tapi aku marah dan meneriakkan kata-kata putus. 
Aku tengah bersimbah airmata di kamar ketika Taka muncul dengan wajah tengilnya. Ketika Ayah dan Ibuku ingin masuk ke kamar dan menghiburku, aku tak mau. Tapi tak ada alasan untuk menghindar dari Taka. Di depannya, aku bisa menangis sepuasnya. Taka mengulurkan tissue dan duduk di sebelahku sementara aku menangis hingga kelelahan. 
            “Aku berharap, ini airmata Dita-chan yang terakhir,” ujarnya, nada suaranya terdengar bersungguh-sungguh. Dan aku tahu, dia memang sedang bersungguh-sungguh karena memanggilku dengan namaku, bukan obaasan seperti biasa. Aku membersit hidung.
            “Sejujurnya, aku merasa senang karena kamu putus dengan Haruki.” Aku mengernyit mendengar ucapannya, kukira dia bercanda, tapi wajahnya masih serius dan diapun meneruskan, “Sejak pacaran dengan Haruki, kamu jadi sering menangis.” Aku tercekat. Taka benar. Aku memang sering menangis selama pacaran dengan Haruki. Haruki adalah sosok populer di sekolah. Dulu, aku merasa begitu bangga dan bahagia bisa pacaran dengan Haruki. Tapi itu hanya sesaat, karena selebihnya hubungan kami nyaris selalu diwarnai pertengkaran. Begitu banyak cewek yang mengagumi Haruki dan itu terasa menyakitkan. Aku tak pernah menyadari hal itu. Dan Taka membuatku memikirkannya. Entah bagaimana, aku mulai berpikir bahwa putusnya hubunganku dengan Haruki bukanlah sesuatu yang terlalu buruk.
            “Aku benci melihat Dita-chan menangis,” gumam Taka beberapa jenak kemudian. Ucapannya, entah bagaimana membuatku merasa terharu dan beberapa detik kemudian suasana jadi terasa rikuh.
            “Wajahmu jelek sekali ketika menangis, Obāsan!” seringai jahil Taka membuyarkan kerikuhan itu. Aku menimpukkan boneka koalaku ke wajahnya.
            “Aku ketakutan dan nyaris lari ketika melihat wajahmu di balik rumpun lavender itu!” ia meledek  kejadian beberapa tahun silam, saat kami pertama kali bertemu.
            “Kamu pikir wajahmu tidak menyeramkan? Matamu melotot seperti hantu!” balasku sambil melemparkan boneka yang lain ke wajahnya.
            “Setidaknya aku selalu bisa membuatmu berhenti menangis,” ujarnya sambil menangkap boneka yang kulemparkan. Aku tertekun. Dia benar.
            Dōshite?[15] Kamu baru sadar kalau aku ternyata sangat keren?” ucapnya mulai narsis. Aku mencibirkan bibir. Tiba-tiba sesuatu terlintas di kepalaku untuk menggodanya.
            “Ya, kamu sangat keren. Tapi kenapa kiranya cowok yang sangat keren ini sampai sekarang belum juga punya  pacar?”Taka menyeringai.
            “Bukan karena tak ada yang mau denganku. Tapi kamu tahu benar bahwa aku tak ingin,” Ujarnya penuh percaya diri.  Dia memang seperti itu. Aku tahu ada beberapa cewek di sekolah yang naksir dia, tapi entah bagaimana dia acuh tak acuh saja.
            “Yuki-chan lumayan manis. Dia juga pintar main biola.” Aku menyebut salah satu cewek yang kutahu naksir dirinya. “Aku akan membantumu melakukan pendekatan kalau kamu merasa malu.” Lanjutku. Taka menggeleng.
            She’s not my type,” Taka berlagak menggunakan Bahasa Inggris dengan logat Jepangnya yang kental. Aku terkekeh.
            “Memang seperti apa type-mu?” cecarku, lebih karena ingin menggodainya. Taka menggedikkan bahu.
            “Kelak, aku akan mengatakannya padamu.” Sahutnya, terdengar bersungguh-sungguh. Aku ingin bertanya lagi, tapi pintu bergeser. Wajah Ayah menyembul, disusul Ibu di belakangnya.
            “Ayah berpikir untuk mengajak kalian makan di luar. Sebaiknya kita pergi sekarang sebelum terlalu malam,” ujar Ayah yang tiba-tiba mengingatkanku bahwa aku merasa lapar. Aku bergegas bangkit dan menyambar jaketku. Malam itu kami menikmati makan malam di sebuah restoran sushi. Ini sekaligus sebagai perayaan diterimanya aku di Universitas Kyoto. Aku melupakan kesedihanku akan Haruki dan menikmati makan malam yang menyenangkan bersama kedua orangtuaku dan Taka.
***
“Ibu, sudah cukup!” pekikku, ketika Ibu masih saja memasukkan berbagai macam barang ke dalam tasku. Besok, aku akan berangkat ke Kyoto, memulai kehidupanku sebagai mahasiswa, tinggal sendiri tanpa Ayah dan Ibu.
“Setidaknya kamu tak perlu membeli apa-apa lagi ketika disana,” ujar Ibu, masih memasukkan beberapa barang yang sudah dibelinya untukku. Aku menyerah. Memilih duduk, mengamati Ibu memasukkan barang-barang itu sementara Ayah menyusunnya agar rapi. Aku tahu kedua orangtuaku sedih karena aku akan pergi. Sejujurnya, aku juga sedih. Tapi membayangkan kehidupan sebagai mahasiswa, aku juga merasa antusias, tak sabar untuk segera pergi. Ayah dan Ibu mulai bertengkar kecil karena susunan barang yang tak rapi. Ibu mengomel dalam Bahasa Indonesia dan Ayah dalam Bahasa Jepang. Pertengkaran kecil yang biasa. Biasanya aku jengkel kalau kedua orangtuaku sudah ribut begitu, tapi kali ini, aku merasa senang mendengarnya. Pertengkaran seperti ini, pasti akan menjadi hal yang kurindukan ketika aku jauh nanti. Tiba-tiba, aku merasa dadaku sesak melihat adegan itu. Sementara kedua orangtuaku masih sibuk saling menyalahkan, aku berjingkat keluar.
Aku berjalan ke halaman samping, ada pijakan kecil di pagar, yang aku dan Taka gunakan sebagai jalan pintas ke rumah. Aku ingin mengucap perpisahan dengan Taka. Sepertinya,beberapa hari ini dia sibuk dengan tim basketnya sehingga agak jarang main ke rumah.  
Aku baru meraba dalam gelap pijakan itu, ketika kudengar suara berdehem. Aku agak kaget, tapi aku hapal suara itu. Taka, duduk di kursi taman, dalam keremangan cahaya lampu. 
“Kamu benar-benar seperti hantu!” dengusku sambil duduk di sebelahnya. Aku berharap dia akan membalas ledekanku seperti biasa, tapi kali ini dia diam saja.
“Kamu tak ingin mengucapkan selamat jalan padaku, heh?” ujarku beberapa saat kemudian.
“Kamu baru akan pergi besok, jadi aku baru akan mengatakan selamat jalan besok,” ujarnya, tanpa ada nada jahil dalam suaranya.
“Oke. Kalau begitu, kita bisa mengobrol saja. Mungkin besok-besok kita tak bisa lagi sering  mengobrol seperti ini.” Ada sedih yang menyelusup ketika aku mengatakan hal itu. Membayangkan bahwa kami akan jarang bertemu.
“Memang ada hal lain yang ingin kukatakan,” Taka menyahut. Aku mengerutkan kening. Nada suaranya benar-benar terdengar aneh. 
Nani[16]?”  cecarku karena dia mengambil jeda.
“Hari itu aku mengatakan padamu bahwa aku akan memberitahumu seperti apa tipe cewek yang kusukai.” Ya, aku ingat itu. Malam usai aku menangis karena putus dengan Haruki.
“Jadi kamu akan memberitahuku sekarang?”  dia mengangguk. Aku mengulum senyum, tak sabar ingin meledekinya.
“Jadi seperti apa? Ayumi Hamasaki, Yu Aoi, Jennifer Lopez...,”
“Dita-chan!” aku mengerutkan kening. “Tipe cewek yang kusukai adalah seperti Dita-chan!” aku tersentak sebelum kemudian terbahak, berpikir bahwa Taka bercanda seperti biasa.
“Dita...aku cinta padamu,” pelan saja suara Taka, tapi mampu membuatku terkesiap karena terkejut. Logat Bahasa Indonesianya terdengar sempurna. Darimana dia belajar kata-kata seperti itu? Aku masih berharap dia bercanda.
Dita-chan wa daisuki desu.[17]” Tegas dan yakin suara Taka.
“Tidak mungkin! Jodan daro[18]?!” sergahku tak percaya. “Taka-kun wa atashi no otouto desu[19].”
Iie.[20] Aku memang lebih muda darimu. Tapi kita tak bersaudara. ”
“Taka-kun!”
“Kamu boleh tak mempercayai ucapanku, tapi kumohon, jangan menganggapku seperti anak kecil lagi.” Taka bangkit dari tempat duduknya.
“Aku hanya ingin mengatakan itu sebelum kamu pergi.” Dia membalikkan badan dan berlalu. Aku termangu, menatapi punggungnya dan sadar bahwa tubuhnya jangkung sekali.
***
Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan ucapan Taka. Cinta? Dia mencintaiku? Bukankah dia adik kecilku?”Jangan menganggapku sebagai anak kecil lagi.” Ucapan itu terngiang di benakku. Dan semakin kupikirkan, aku semakin sadar, dia memang bukan anak kecil lagi. Selama ini di mataku, Taka adalah sosok bocah bermata jernih yang menyembul dari balik rumpun lavender. Seorang bocah polos dan lucu yang membuatku selalu tersenyum. Tapi kemudian aku sadar, dia telah berubah. Seperti yang dikatakannya, dia bukan anak kecil lagi. Dia telah tumbuh. Tiba-tiba aku merasa gelisah.
***
Ayah dan Ibu sudah bangun pagi-pagi dan menyiapkan mobil untuk mengantarku. Ada beberapa hal yang akan Ayah kerjakan terkait pekerjaannya, jadi kami harus pergi pagi-pagi.
            “Cepat bersiap, Dita. Kita akan segera berangkat,” ujar Ibu. Aku masih mengantuk karena baru bisa memejamkan mata menjelang pagi. Aku menyeruput teh hangat yang dibuatkan Ibu ketika di kepalaku terlintas sesuatu.
            “Sebentar ya, Yah, Bu,” aku bergegas keluar, setengah berlari ke halaman samping. Langkahku terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Taka, dengan seragam sekolahnya, sedang berjalan ke arahku.
            “Aku ingin mengucapkan selamat jalan,” ujarnya ketika sudah berada di depanku. Aku diam saja, menatapnya. Dia memang benar-benar bukan anak kecil lagi. Berdiri di depannya, aku bahkan lebih pendek darinya.
            Do shita n dayo?”[21] Taka tampak gusar.
            Taka-kun mo...suki yo!”[22]  ucapku, menyingkirkan seluruh rasa maluku.
            “Eeh?!” Taka membelalakkan matanya karena terkejut. “Honto ni?”[23] aku mengangguk. “Bukan sebagai adik?” cecarnya. Aku mengangguk lagi.
            “Yess!” pekiknya sambil mengepalkan tangan. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Lalu tiba-tiba wajahnya berubah muram.
            “Tapi kamu akan segera pergi.”
            “Aku akan sering-sering pulang.”
            “Aku akan belajar keras supaya tahun depan bisa menyusulmu ke Kyoto.”  Aku tersenyum membayangkan semua itu.
 “Sabishikunaru-wa.”[24]
“Sabishikunaru-yo”[25] Kami bertatapan beberapa saat. Tiba-tiba perpisahan ini terasa berat.
            “Dita!” terdengar panggilan Ibu.
            ‘Aku harus segera pergi. Ikanakucha![26]” tapi Taka menarik tanganku, dengan cepat mendaratkan ciuman di keningku.
            Ki-o-tsukete-ne![27]” ujarnya. Aku mengangguk, balik badan dan berjalan meninggalkannya. Hubungan kami sudah berubah, tapi aku tahu ada satu hal yang tak akan pernah berubah: Taka akan selalu bisa membuatku bahagia dan tersenyum. ***

Catatan:
Cerpen ini dimuat dalam Antologi Cerpen “Japan in Love” yang diterbitkan Diva Press, Yogykarta. 2005


[1] “Saya sudah kembali”UCapan yang digunakan ketika seseorang baru pulang dari bepergian
[2]“Selamat datang” ucapan digunakan untuk orang yang baru pulang ke rumah
[3] Maaf
[4] -chan, kata sandang untuk perempuan. Biasanya untuk anak-anak, orang dewasa ke anak-anak atau mereka yg sebaya
[5] Untuk menanyakan kabar
[6] Lirik lagu Blue Hearts, band punk asal Jepang yang popular tahun ’90-an. Judul lagunya, “Owaranai Uta”
[7] -kun, kata kata sandang untuk laki-laki. Biasanya untuk anak-anak, orang dewasa ke anak-anak atau mereka yg sebaya
[8] Nenek
[9] Sekarang apa?
[10] Mengerti, bentuk past.
[11] Mie khas Jepang
[12] Tentu saja.
[13] Orang yang melakukan pelecehan seksual (cowok)
[14] DIucapkan ketika pamit
[15] Kenapa?
[16] Apa
[17] Sungguh, aku menyukaimu, Dita.
[18] Kamu bercanda?
[19] Taka adalah adik lelakiku
[20] Tidak
[21] Ada apa? (diucapkan oleh cowok)
[22] Aku juga menyukai Taka
[23] Benarkah?
[24] Aku akan merindukanmu (diucapkan oleh cewek)
[25] Aku akan merindukanmu (diucapkan oleh cowok)
[26] Aku harus segera pergi
[27] Jaga diri