Friday 23 January 2015

Kereta Api, Riwayatmu Kini

Saya selalu punya imajinasi romantis yang aneh tentang kereta api. Derak rodanya yang menggilas rel, suara peluit panjang yang mengiringi setiap keberangkatan, sawah dan pepohonan yang berlarian... semua itu terasa romantis dan sentimentil. Meski begitu, aneh bahwa kebanyakan pengalaman nyata naik kereta api saya sebenarnya jauh dari kesan romantis maupun sentimentil. Alih-alih kalau tidak mau dibilang penat dan melelahkan.

Perkenalan pertama saya dengan kereta api ketika saya berumur 9 tahun dalam perjalanan Jogja-Jakarta. Kereta apinya kelas ekonomi. Tak banyak ingatan yang tersisa dari momen itu selain kesan penuh sesak, panas, bau, kumuh dan berisik oleh para pedagang asongan dan peminta-minta.

Setelah itu, lama saya tak pernah naik kereta api lagi hingga sekitar pertengahan tahun 2000-an. Rutenya sama: Jogja-Jakarta. Kali ini, karena dibayari, pilihannya adalah kelas bisnis. Tiketnya Rp. 80.000 atau Rp. 60.000, saya tak terlalu ingat. Tak ada perbedaan mencolok antara kelas ekonomi dan bisnis selain bahwa tempat duduknya sedikit lebih empuk. Namun dari segi suasana kereta api nyaris sama saja: penuh sesak dan berisik oleh pengamen, peminta-minta dan pedagang asongan yang tak pernah berhenti mondar-mandir. Baru merem sejenak sudah ada ewer-ewer mengusik gendang telinga. Bahkan pernah saya sedang tidur dibangunkan dengan kasar oleh seorang pengamen demi meminta recehan. Gondok sekali rasanya.

Berikutnya, saya naik kereta api lagi dalam rangka liburan bersama teman-teman kampus ke Tasikmalaya. Karena liburan ala anak kuliahan ya tentu saja pilihannya lagi-lagi yang paling ekonomis: kelas ekonomi. Tiketnya sangat murah, kurang dari 30 ribu seingat saya. Tak ada teraan tempat duduk, hanya sekeping potongan karton bercap harga. Karenanya, tak pernah ada jaminan bisa duduk kecuali kereta api memang sedang sepi. Sialnya, kami pergi pada musim liburan dan kereta api sangat penuh sesak. Boro-boro mendapat tempat duduk, sekadar tempat berdiri saja susah. Kami harus rela berdesak-desakkan, digeser kesana-kemari karena pedagang asongan dan pengamen yang terus hilir mudik. Minta ampun!

Namun pengalaman yang cukup 'mengerikan' bagi saya adalah ketika suatu hari usai memenuhi undangan wawancara kerja di Jakarta dan pulang naik kereta api. Saya berdua teman saya, sama-sama perempuan, awalnya ingin naik kereta api bisnis tapi ternyata tiketnya habis dan kami tak punya pilihan selain kereta api ekonomi.

Karena akhir pekan, kereta api benar-benar penuh sesak. Karena memang tak ada nomor kursi, kadang ada beberapa penumpang yang dengan tamak menguasai dua kursi sekaligus agar bisa nyaman. Tempat berdiri di sepanjang lorong juga sudah sesak, jadilah saya dan teman saya harus 'rela' mendapat tempat sempit di ruang gandengan antargerbong bersama beberapa penumpang lain. Sebagai alas duduk, kami membentang koran dan jika mengantuk, tidur dalam posisi duduk yang sangat-sangat tidak nyaman. Selesai? Belum. Lagi-lagi kami harus terbangun setiap saat, memiringkan posisi karena setiap kali pedagang asongan lewat, nyaris menginjak kami.

Sepanjang malam kami harus "menikmati" perjalanan seperti itu, dan baru pagi hari, ketika kereta api sampai di sekitar Kebumen akhirnya banyak penumpang turun dan kami bisa duduk di kursi dengan perut yang kembung karena masuk angin. Saat ini, mengenang hal itu terasa lucu, tapi saya juga belum bisa melupakan betapa menyiksanya perjalanan itu.
 

Bangku kereta api kelas ekonomi sekarang yang bersih dan lumayan nyaman

Beberapa tahun belakangan, terjadi perombakan besar-besaran di dunia perkeretapian Indonesia. Awalnya saya tak terlalu percaya mendengar cerita teman-teman yang mengatakan bahwa naik kereta api, apapun kelasnya, saat ini sangat nyaman. Hingga saya mengalaminya sendiri ketika naik kereta api Jogja-Probolinggo kelas ekonomi tahun 2014 lalu dan tertakjub-takjub dibuatnya. Tiketnya 'canggih' lengkap dengan nomor tempat duduk sehingga bisa dipastikan tak akan ada penumpang "bangku tempel". Pemeriksaannya ketat sehingga nyaris tak memberi ruang pencopet menyelinap masuk. Ruang  kereta apinya bersih, dingin oleh AC dan bebas gangguan pedagang asongan atau pengamen.

Di sisi lain, saya juga takjub dengan harganya. Sistem pembeliannya sudah menggunakan sistem pasar ala tiket pesawat yang memungkinkan harganya fluktuatif dan pada satu masa bisa menjadi sangat mahal. Untuk kelas ekonomi, beberapa masih terasa masuk akal, tapi tidak dengan kelas eksekutif yang harganya bahkan kadang mengalahkan atau sama dengan tiket pesawat. Dengan perbandingan durasi perjalanan dan fasilitas, menurut saya harganya benar-benar menjadi mahal. 

Meski begitu, bagaimanapun saya merasa salut dengan PT KAI yang telah berbenah demikian drastis. Tidak hanya kereta apinya, tapi juga stasiun-stasiun yang bersih dan pelayanan yang rapi. Sebagai penumpang (terlepas dari harganya yang kadang masih sulit saya terima), saya merasa nyaman dengan pelayanan kereta api saat ini. Suasana hiruk pikuk gerbong kereta api beberapa tahun lalu memang menjadikan perjalanan penuh warna dan mengesankan, tapi juga seringkali sangat mengganggu. Belum lagi rasa was-was oleh ancaman tangan-tangan jahil yang berkeliaran ketika kita tertidur dan lalai dengan barang-barang kita. Jauh berbeda dengan saat ini.


Untuk perjalanan jauh, rasa penat sulit teralihkan tapi setidaknya saya merasa nyaman karena pasti mendapat tempat duduk. Saya merasa aman karena petugas yang mondar-mandir setiap saat, memastikan keamanan gerbong dan kenyamanan penumpang. Saya juga bisa tidur tenang tanpa keringat bercucuran dan gangguan teriakan  "Spriiit! Akwa! Mijon! Popmiii!..." yang seolah tiada jeda atau ecrek-ecrek para banci kaleng dengan nyanyian sombernya.

Namun, seringkali dalam lamunan saya setiap kali naik kereta api, tak urung saya teringat masa-masa kereta api yang riuh rendah dulu. Betapa murahnya harga tiket kala itu (Jogja-Jakarta hanya sekitar Rp. 40.000), sehingga memungkinkan orang-orang yang kurang secara ekonomi bisa bepergian dengan kereta api. Lalu para pengais rejeki di atas kereta api itu, berapa jumlahnya? Puluhan? Ratusan?  Kemana mereka semua? Jujur, saya tak tahu harus bagaimana dan satu-satunya hal yang mampu saya lakukan hanyalah mendoakan mereka. Semoga mereka baik-baik saja dan mendapat sumber penghidupan yang layak di tempat lain...Amiin! :(

No comments:

Post a Comment