Sunday 7 November 2010

Matre


Ini tentang uang. Beberapa waktu lalu, saya ingat obrolan dengan Pia, seorang teman yang datang dari Jerman. Kami sedang duduk-duduk di belakang kantor lapangan dan mengobrolkan banyak hal. Lalu entah kenapa saya sampai pada cerita tentang orang-orang Rimba yang kalau difoto minta dibayar. Memang kenapa? tanya Pia menanggapi cerita saya.
Itu nggak bagus, kata saya. Mereka jadi terlalu materialistis. Tambah saya lagi.

Itu wajar kan? ujarnya. Di beberapa tempat juga begitu, mau foto sama monyet atau orang hutan juga kita harus bayar. Apa bedanya? Saya tertohok.

Iya, apa bedanya? Kenapa saya berpikir bahwa monyet nggak papa matre tapi tidak dengan manusia? Karena monyet butuh biaya pemeliharaan? Tapi manusia kan juga butuh uang untuk makan?

Dan saya terus memikirkan hal ini hingga beberapa waktu kemudian dan berusaha mencari pembenaran kenapa nggak bagus kalau Orang Rimba itu dikasih uang ketika hendak difoto. Bukan cuma sekedar alasan etika.



Soal uang ini kembali mengusik saya ketika kemarin, Derek, seorang volunter dari Amerika di kantor saya ngomongin soal kursus bahasa Inggris. Derek, sebagaimana volunter sebelumnya, bertugas membantu translating dan ngajarin bahasa Inggris untuk staf. Lalu beberapa dari kami, yang ingin nyari beasiswa ke luar negeri, minta dia untuk bantu ngajarin TOEFL.

Volunter sebelumnya, Carol, dulu dengan senang hati menyanggupi hal ini. Kapan kami mau, Carol bersedia. Tapi Derek memberi jawaban yang agak mengejutkan ketika kami minta untuk hal ini. Dia memang bersedia, ia siap mengajar di hari Sabtu atau Minggu, hari libur kerja tapi bukan dengan cuma-cuma. Ia minta dibayar. Itung-itungannya, ia harus merelakan waktu liburnya untuk bekerja. Masuk akal sebenarnya. Tapi tetap saja saya merasa terkejut. Dan saya pikir juga teman-teman yang lain.

Ini bukan lagi soal masuk akal atau tidak, tapi persoalan etika, nilai. Ketika dia menyebutkan soal bayaran, saya tak bisa tidak langsung mencap dia matre, money oriented, nggak punya jiwa sosial...dan itu membuat saya memandang sinis dirinya. Bahkan saya kemudian berpikir, kalau sama-sama bayar, mending saya kursus di luar daripada saya harus bayar ke orang matre kayak dia.

Mungkin pikiran saya ini kurang rasional. Mungkin juga terlalu kolot. Saya berpikir, meski saya sudah mengenyam pendidikan formal hingga perguruan tinggi, sebutlah saya ini manusia modern, tapi ternyata alur pikiran saya kadang masih sangat konvensional. Ya bagaimana? Saya dibesarkan dengan nilai-nilai budaya semacam itu.

Saya kemudian sampai pada pemikiran, mungkin nggak ada yang salah dengan menjadi matre, money oriented atau malah disebut porfesional. Tinggal bagaimana kita memandangnya. Bagaimana kita melekatkan nilainya saja.

No comments:

Post a Comment