Saturday 1 November 2014

Solilokui untuk Jogja

Saya 'resmi' meninggalkan Jogja sejak sekitar lima tahun lalu. Selama lima tahun itu, sebenarnya saya masih cukup sering menjejakkan kaki di Kota Gudeg, tapi rentang waktunya hanya sebentar-sebentar sehingga tak semua tempat di Jogja bisa sempat saya singgahi. Karena biasanya dari bandara, paling saya hanya melewati antara jalan dari bandara, Jl Solo, sekitaran UGM, Malioboro hingga Jokteng. 

Dan saya menyadari, setiap berkunjung ke kota ini, ada hal-hal yang terus berubah. Bangunan-bangunan baru terus bermunculan. Hotel-hotel megah, pusat-pusat perbelanjaan, kafe-kafe cozy dan sophisticated... jalanan yang semakin padat dan semrawut, udara yang makin panas...Puncaknya, kemarin malam, ketika kebetulan saya 'diajak' muter-muter travel yang saya tumpangi untuk menjemput penumpang ke seputaran ring-road, Jl Magelang-Jombor, saya terperangah. Benarkah ini Jogja? Dimulai dari sekitar Monjali, adalah Taman Pelangi yang dihiasi banyak lampion temaram dan food court. Oke, saya pikir ini perkembangan bagus karena selama ini Monjali hanyalah sebuah monumen yang kering. Berikutnya,adalah flyover Jombor yang tampak gagah...dan saya benar-benar ternganga ketika sampai di Jl Magelang: sebuah bangunan megah berdiri menjulang: Jogja City Mall. Apakah saya benar-benar sedang berada di Jogja?

Jogja dari puncak Taman Sari, 2008

Belakangan, saya membaca kalau selain Jogja City Mall, yang konon digadang sebagai pusat perbelanjaan terbesar di Jogja dan Jawa Tengah, akan segera hadir pula 4 pusat perbelanjaan lainnya: Sahid Jogya Lifestyle di Babarsari, Lippo Mall Saphir di Jl Laksda Adisucipto (eks Saphir Square), dan Hartono Lifestyle Mall di Ring Road Utara. Kehadiran mall-mall baru itu akan menambah mall-mall yang sudah ada di Jogja sebelumnya, yakni Galeria Mall, Malioboro Mall dan Ambarukmo Plaza.

Saya tidak terlalu paham apakah semua pembangunan itu berdampak baik atau buruk. Hanya saja, selama ini saya selalu merasa Jogja itu bersahaja, tenang dan cenderung 'ndeso'  dengan slogan "Jogja berhati Nyaman" yang menurut saya (dulu) sangat pas untuk menggambarkan Jogja. Dan melihat semua perubahan itu, saya benar-benar merasa agak syok. Saya tak hendak beromantisem dan meratapi perubahan. Perubahan adalah hal yang mutlak dan tidak selalu buruk (dan saya harap semua perubahan itu memang bukan sesuatu yang buruk). Bahwa Jogja semakin 'maju', 'modern' dan metropolis, meski dengan agak berat hati, saya pikir itu hal yang tak bisa dicegah dan mungkin juga sesuatu yang bagus. Saya melihat dari waktu ke waktu, Jogja semakin ramai dikunjungi wisatawan. Pastilah itu perkembangan yang bagus untuk bisnis pariwisata dan saya turut bangga karenanya.

Pasar Beringharjo tahun 1910. Bagaimana ya rasanya hidup di Jogja pada masa itu? (sumber gambar: tembi.net)

Tapi saya juga tak bisa untuk tak risau ketika membaca berbagai berita tentang pembangunan hotel yang gila-gilaan dan dampaknya terhadap lingkungan. Bayangkan jika konon satu kamar hotel memerlukan 380 liter air (sementara satu rumah tangga hanya sekitar 300 liter air). Sementara jumlah hotel di Jogja pada tahun 2013 adalah 401, dimana 39 hotel berbintang dan sisanya non bintang (sumber: http://regional.kompas.com/, "Sultan HB X Kendalikan Pembangunan Hotel"). Jika satu hotel saja memiliki setidaknya 20 kamar bisa dibayangkan kan kebutuhan airnya? Dan bisa dipastikan siapa yang harus "mengalah" dalam hal ini.  

Belum lagi pembuangan limbah dan kebutuhan lahan parkir.Bukan apa-apa, Jogja itu kota kecil secara luasan. Bahkan seluruh provinsi Jogja bisa dikitari dalam waktu satu hari. Tanpa bangunan-bangunan baru itu saja selama ini Jogja sudah padat dengan penduduknya. Dengan adanya bangunan-bangunan baru itu, tentu saja Jogja akan semakin berdesakan, 'uyel-uyelan', ruang hijau yang makin terbatas dan mungkin di ujung-ujung adalah ketergusuran. Bisa ditebak kan siapa yang bakal tergusur dalam kasus seperti ini? Hmm, mudah-mudahan saja tidak sampai seperti itu. Saya selalu positive thinking bahwa Jogja dihuni oleh orang-orang cerdas dan kreatif  (termasuk para pejabat daerahnya) yang tak akan membiarkan kotanya berubah menjadi kota yang 'menyedihkan' dan "Tak Berhati Nyaman". Semoga saja begitu...

(selepas dari Jogja, 29 Oktober 2014)

No comments:

Post a Comment