Thursday 10 December 2015

Tentang TTM

Setelah buku saya akhirnya terbit, tiba-tiba saya 'merindukan' buku ini; TTM. Jika mau jujur, ini adalah buku saya yang pertama diterbitkan.  Bertahun-tahun, saya hampir meyakini bahwa penerbitan buku ini lebih sebagai 'kecelakaan' daripada sebuah 'pencapaian' yang menyenangkan. Cukup lama, saya  ingin mennganggap bahwa buku ini tak pernah benar-benar saya tulis.

Buku ini saya tulis sekitar 10 tahun yang lalu. Waktu itu, sebenarnya saya iseng saja, sekadar ingin belajar membuat novel. Meski saya sudah mulai belajar menulis fiksi sejak beberapa tahun sebelumnya, tapi tulisan saya baru sebatas cerpen. Saya selalu berpikir bahwa menulis novel itu sulit karena perlu rangkaian cerita yang panjang. Dan memang demikian adanya. Meski begitu, saya berusaha mencobanya.

Seperti mungkin impian semua penulis, sebenarnya saya ingin sekali menulis novel yang lebih 'serius' dengan isi yang lebih 'berbobot.' Namun, karena berbagai keterbatasan yang saya miliki, saya pun memutuskan mulai menulis dari hal-hal yang saya kuasai saja. Jadilah saya mulai menulis tulisan yang berbau chicklit/teenlit.

Proses penulisannya sendiri jauh dari serius. Waktu itu saya belum punya komputer pribadi, sehingga penulisannya saya lakukan di rental langganan dekat kos-kosan. Draft-nya, sebelumnya saya tulis di buku biasa. Saya membuat inti bab per bab sementara penjabarannya mengalir saja selama menulis.

Saya tak terlalu ingat berapa lama prosesnya, tapi sepertinya tak sampai satu bulan hingga saya merasa bahwa tulisan saya sudah 'utuh.' Meski begitu, saya masih merasa belum puas. Novel yang saya tulis sangat tipis, hanya sekitar 50 lembar. Bagi saya yang pengalamannya hanya sebatas menulis cerpen yang paling tebal hanya 10 halaman, menulis novel benar-benar hal yang sulit. Saya harus bisa mendetailkan setiap bab dalam cerita. Meski saya sudah membayangkan seperti apa ceritanya, tapi seringkali saya merasa blank ketika harus mengisi detail cerita itu.

Meski begitu, entah ide darimana, waktu itu saya iseng mengirimkannya ke penerbit.  Karena masih belum pede, saya kirim saja ke penerbit lokal yang menerbitkan tulisan sejenis. Harapan saya di awal, sebenarnya agar mereka memberi penilaian pada tulisan saya. Dari pengalaman saya mengirim cerpen ke media, jika ditolak mereka akan memberi saya saran atau masukan kenapa tulisan saya tidak bisa diterbitkan. Dan harapan yang sama ketika saya mengirim novel ini.

Sekitar beberapa waktu kemudian (seingat saya tak sampai satu bulan), penerbit menghubungi saya dan mengatakan bahwa... tulisan saya akan diterbitkan! Tentu saja, saya terkejut. Antara bingung dan senang. Saya memang selalu bermimpi untuk bisa menerbitkan buku suatu ketika. Tapi saat itu? Dengan tulisan seperti itu? Saya agak ragu. Namun, di sisi lain, saya juga merasa itu sebuah kesempatan.

Sang editor kemudian mengajak saya ketemuan. Tidak ada saran perbaikan, mereka hanya minta saya menambahi jumlah halaman. Setidaknya hingga 75 halaman agar bisa diterbitkan. Saya menyanggupi. Meski saya harus berpikir keras mencari ide untuk 25 halaman itu. Setelah tambah sana tambah sini, jadilah 75 halaman itu. Lagi-lagi editor nyaris tak mengutak atik tulisan saya. Usul perubahan hanya pada judul.

Waktu itu, tulisan itu saya beri judul 'Soulmate' tapi ternyata pada waktu yang hampir bersamaan, sudah diterbitkan novel sejenis dengan judul tersebut. Karena saya kesulitan mencari judul baru, saya serahkan ke redaksi. Pun setelah itu, seluruh proses sepenuhnya ada di tangan redaksi. Saya tanda tangan kontrak.  Meski begitu, sebenarnya saya masih berharap mereka akan memberitahu saya dan minta pertimbangan saya lagi sebelum benar-benar diterbitkan. Saran perbaikan dan sebagainya karena saya merasa bahwa tulisan saya belum sepenuhnya selesai.

Sekitar dua bulan kemudian, saya dihubungi lagi. Buku saya sudah terbit dan saya diminta mengambil jatah cetak saya 10 eksemplar. Dan betapa terkejutnya saya ketika melihat buku saya dengan judul yang terasa sangat-sangat cheesy: TTM! Tapi saya juga tak bisa protes apa-apa lagi. Bagaimana lagi? Ibarat nasi sudah menjadi bubur.

Ketika beberapa hari kemudian saya diajak promo di sebuah toko buku, saya terlalu malu sehingga tak memberitahu teman-teman saya. Waktu itu, saya bergabung di organisasi mahasiswa dengan teman-teman yang nyaris selalu membahas buku-buku serius. Dan kenyataan bahwa saya menulis buku yang terkesan sangat cheesy benar-benar membuat saya tak berani berkoar-koar bahwa saya sudah menulis buku. Beberapa teman yang sudah tahu, setengah mempertawakan judul buku saya. Tapi ya sudahlah. Nothing to loose saja. Anggap saja ini semacam dokumentasi tulisan saya. Saya juga tak berharap buku itu akan laku atau semacamnya sehingga saya tak terlalu memikirkan tentang royalti blabla. Saya bukan siapa-siapa dan tulisan itu juga begitulah. Penerbitnya juga penerbit lokal saja, meski saya sendiri cukup heran kenapa mereka mau mengambil risiko menerbitkan buku saya.

Ohya, ketika acara promo itu, diundang tokoh sebagai pembahas, seorang guru SMA yang cukup populer di Jogja. Beliau mengkritik kalau buku saya terlalu 'nggrambyang' terlalu banyak tokoh sehingga ceritanya kurang bulat. Sedikit menolong, adalah penokohannya yang menggunakan orang ketiga. Di bagian lain, beliau mengatakan bahwa buku saya berpotensi menjadi tulisan yang lebih sastra karena beberapa kalimat yang cukup 'indah.' Meski sedikit tersanjung, saya tak terlalu yakin bahwa si Bapak sungguh-sungguh memuji tulisan saya. Bagaimanapun, itu adalah acara promo dan dia tentu tak mungkin mengatakan hal yang benar-benar buruk tentang tulisan saya. 

Karena beberapa kesibukan, saya tak terlalu memikirkannya lagi. Hingga beberapa bulan kemudian, tiba-tiba saya dihubungi penerbit lagi. Mereka memberitahu saya oplah penjualan buku berikut royalti yang saya dapatkan. Dan lagi-lagi saya agak terkejut, karena ternyata baik jumlah penjualan maupun royalti, ternyata sangat lumayan. Saya tidak ingat kenapa, tapi royalti itu tak segera saya ambil. Dan ketika saya membutuhkannya dan berniat mengambilnya, hal tak terduga terjadi. Tahu-tahu penerbit buku itu gulung tikar dan... lenyaplah hak royalti saya!

Lengkap sudah 'hal memalukan' terkait buku saya. Dan saya pun memutuskan untuk tak pernah membicarakannya lagi. Jika ada teman-teman yang menyinggungnya saya buru-buru alihkan. It's so embarassing. Dan begitulah yang saya kenangkan bertahun-tahun kemudian. Pada teman baru, saya tak pernah cerita tentang buku saya ini. Juga tidak pernah saya tulis dalam resume dimanapun.

Beberapa hari lalu, entah kenapa, saya teringat buku itu lagi. Iseng, saya bongkar-bongkar tumpukan buku dan membacanya lagi. Dan... saya cukup takjub dengan diri saya sendiri. Katakanlah saya subyektif dan mungkin sedikit narsis, tapi saya pikir, setelah 10 tahun berlalu, saya pikir saya sudah bisa melihat tulisan itu dengan agak berjarak dan juga pikiran yang sedikit berbeda.

Saya merasa bahwa tulisan saya itu ternyata tak seburuk yang saya pikirkan selama ini. Saya teringat kata-kata si pembahas dan mungkin beliau sungguh-sungguh ketika mengomentari tulisan saya. Terlalu banyak tokoh, terlalu banyak hal yang ingin disampaikan, tapi sebenarnya lumayan solid. Gaya bahasanya agak alay pada beberapa bagian (saya tak habis pikir, kenapa bahkan saya menggunakan sapaan "gue-elo" di sini :P), tapi beberapa dialog terkesan cukup berisi dan tidak lebay. Nuansa remajanya sangat terasa. Karakter-karakternya cukup nyata, meski memang menjadi kurang mendalam karena saking banyaknya yang ingin saya sampaikan...

Haha.. whatever, setelah membaca buku itu lagi, untuk pertamakalinya,  saya merasa cukup bangga pada diri sendiri bahwa saya sudah pernah menulisnya. Dan bahwa buku itu sudah pernah diterbitkan, terlepas dari nasib tragis penerbitnya, adalah nilai tambahnya. Buku itu adalah bagian dari diri saya, bagian dari proses menulis saya dan i am proud of it :)

No comments:

Post a Comment