Tuesday 13 October 2009

Ita

Sept. 23. 2009
Aku bertemu Ita 7 tahun yang lalu. sama-sama dalam jeda liburan tahun ajaran baru. aku dalam persinggahan di rumah orang tuaku dan dia di rumah kakak perempuannya. Ita bertubuh semampai, hangat, ramah dan cantik. hal yang membuatku kagum sekaligus iri.

pada malam menjelang kepergianku, kami duduk di teras rumah orang tuaku, rumah panggung kayu, dalam remang cahaya lampu minyak. kami mengobrol. sementara cahaya bintang berkerlipan di atas kami dan angin malam menguarkan aroma pembakaran dari ladang-ladang yang baru di buka. kami mengobrol tentang banyak hal, meski aku tak ingat apa saja isi obrolan itu. kami sama-sama sedang menapaki jalan menuju usia dewasa, bersiap menyemai tunas impian dan harapan yang masih segar, seperti tunas-tunas tanaman di pekarangan yang baru disemai nenek dan ibu. impian dan harapanku siap kusemai di seberang lautan, sementara Ita lebih sederhana. ia ingin menyelesaikan sekolah menengahnya yang terpaksa putus karena kerusuhan.

di penghujung obrolan, Ita meminta fotoku untuk kenang-kenangan. aku mengiyakan dengan tak yakin. bagiku, meninggalkan kenangan foto untuk teman perempuan yang baru kukenal sekitar sepekan terasa konyol. tapi malam itu, kupilah-pilah juga foto yang kuanggap terbaik untuk kuberikan padanya.

esoknya, masih begitu pagi ketika bapak mengajakku berangkat. orang-orang masih lelap dibuai mimpi. aku tak sempat mengucap salam perpisahan untuk Ita dan memberikan foto yang dimintanya. tapi, sejujurnya aku tak terlalu sedih. tak ada kesan yang terlalu berarti dalam hari-hari kebersamaan kami. lagipula, kurasa aku terlalu antusias menyongsong mimpi-mimpiku.

tahun-tahun berlalu dan tak banyak yang kuingat tentang Ita. bahkan perlahan aku pun lupa namanya. aku hanya ingat bahwa dia cantik tapi wajahnya kuingat dengan samar.

tujuh tahun berlalu sudah sejak saat itu. pekarangan telah gelap oleh pokok-pokok sawit. kami bertemu lagi. aku dalam jeda libur lebaran di rumah orang tuaku dan dia berlebaran di rumah kakaknya. banyak hal yang berubah, tapi dia tetap semampai, cantik, hangat dan ramah. dia langsung mengucap namaku dan memelukku begitu kami bertemu. lalu ia memperkenalkan bocah perempan kecil cantik berumur sekitar 5 tahun sebagai 'gadisku'. aku berusaha menanggapi keramahannya, merasa sedikit malu. jika tak diingatkan ibuku, aku bahkan tak ingat bahwa namanya Ita.

kudengar ia tak jadi meneruskan sekolahnya dan kemudian menikah dengan lelaki yang bekerja jadi satpam di petrochina. kurasa ia telah meraih mimpi-mimpinya. agaknya mimpi yang berbeda dari yang kami obrolkan pada malam itu. tapi ia terlihat begitu bahagia. aku juga telah meraih salah satu mimpiku di seberang lautan tapi masih terus terengah-engah menggapai mimpi yang lain.

No comments:

Post a Comment